Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun, melaporkan dua anak putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, ke KPK terkait dugaan KKN. Sosok Ubedillah pernah viral karena analisisnya yang menyatakan Menhan Prabowo Subianto bisa menggantikan Ma'ruf Amin sebagai wapres.
Analisis Ubedillah mengenai isu Ma'ruf Amin akan digantikan Prabowo itu menjadi viral pada 2020. Isu tersebut pun banyak digaungkan di media sosial dengan narasi Ma'ruf Amin akan diganti.
Saat diminta konfirmasi mengenai analisisnya itu, Ubedillah menjelaskan tafsir politiknya itu bermula dari mendadaknya proses pemilihan Ma'ruf Amin sebagai pendamping Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019. Padahal kala itu ada Mahfud Md yang disebut telah disiapkan sebagai calon wakil presiden.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentu secara politik, dalam tafsir politik ya, PDIP sebagai pendukung Jokowi cukup tidak beruntung kalau wapresnya Mahfud Md. Karena kan 2024 Jokowi tidak bisa mencalonkan lagi. Karena posisi wapres itu menjadi sangat penting untuk periode 2019-2024. Karena dia menjadi orang kedua di republik ini yang mobilitasnya mesti tinggi dan kemudian dia bisa melakukan apa yang disebut dengan imaging policy ya jadi dengan kegiatannya, langkah-langkahnya dia akan membentuk citra yang memungkinkan untuk ikut kontestasi 2024. Kalau Mahfud Md kan nanti yang diuntungkan PKB atau partai-partai yang lain. PDIP tidak beruntung," tutur Ubedillah ketika dihubungi, Rabu (12/8/2020).
Menurut Ubedillah, cepatnya proses pemilihan itu memunculkan dugaan bahwa PDIP memilih calon wakil presiden yang lebih menguntungkan dan bisa dihentikan di tengah jalan. Karena itu, dipilihlah Ma'ruf Amin.
"Nah, pada titik itu, tentu politisi yang berada pada kubu mereka mencari wapres yang kira-kira bisa dihentikan di tengah jalan atau wapres yang memang sudah sepuh. Itu kan tafsir politik. Karena prosesnya tidak normal kan, waktu pencalonan itu kan sangat mendadak. Jadi makanya itu memungkinkan tafsir semacam itu," katanya.
Ubedillah pun kemudian menjelaskan mengapa nama Prabowo yang paling santer diisukan menggantikan Ma'ruf Amin. Sebab, Prabowo memiliki legitimasi politik yang kuat.
Menurut Ubedillah, perlu sosok yang kuat untuk bisa dibawa ke sidang MPR. Karena itu, dia menilai Prabowo merupakan kandidat yang kuat untuk diajukan sebagai calon wakil presiden.
"Karena kalau yang lain kan, untuk mencari legitimasi politik kan cukup berat, karena pertama dukungan politik nggak mudah ya untuk mendapatkan dukungan politik dari parpol. Yang lainnya juga saya lihat argumennya, PDIP dengan Gerindra memiliki ideologi yang sama, warna ideologi yang sama. Selain itu, Gerindra juga suara terbanyak kedua bersama PDIP dan Golkar kan, saya kira wajar kalau kemudian yang muncul nama Prabowo. Atau mungkin juga Airlangga Hartarto, karena kan Golkar partai besar juga. Jadi yang antaya Prabowo dan Airlangga Hartarto yang memungkinkan dipilih di MPR, jika Pak Ma'ruf Amin berhalangan karena sakit, karena nggak mampu menjalankan amanah sebagai wapres," tuturnya.
Kendati demikian, Ubedillah menekankan bahwa butuh landasan yang kuat untuk mengganti Ma'ruf Amin. Selain itu, kata dia, syarat-syarat konstitusional perihal penggantian itu harus dipenuhi.
Simak Video: Seputar Gibran dan Kaesang yang Dilaporkan Dosen UNJ ke KPK
Pernah Tolak Pengajuan Gelar Doktor HC untuk Ma'ruf Amin
Ubedillah juga pernah mewakili Presidium Aliansi Dosen UNJ yang menolak pengajuan kembali gelar kehormatan doktor honoris causa untuk Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Ubedillah Badrun, Abdhil Mughis Mudhofir, Abdi Rahmat, dan Rakhmat Hidayat. Menurut Aliansi Dosen UNJ, pemberian gelar kehormatan doktor honoris causa kepada pejabat itu berbau kepentingan pragmatis.
Ubedillah, yang mewakili Presidium Aliansi Dosen UNJ, mengatakan pengajuan kembali gelar kehormatan doktor honoris causa kepada Ma'ruf dan Erick Thohir tersebut terbaca pada agenda persetujuan pemberian gelar Dr HC yang dimuat dalam surat undangan rapat Senat UNJ bernomor B/3110/UN39.22/TP.01.07/2021 tertanggal 4 Oktober 2021.
"Selasa (12/10) kami mendapat informasi bahwa Senat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) akan mengadakan rapat penentuan pada Kamis (14/10) untuk memutuskan mengajukan kembali Ma'ruf Amin dan Erick Thohir mendapatkan gelar kehormatan Dr honoris causa," ungkap Ubedillah dalam keterangan tertulis, Kamis (14/10/2021).
Laporkan Gibran-Kaesang ke KPK
Ubedillah kembali disorot setelah melaporkan dua putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, ke KPK terkait dugaan tindak pidana korupsi. Dia mengatakan laporannya terkait dengan bisnis Gibran-Kaesang.
"Jadi laporan ini terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dan/atau tindak pidana pencucian uang berkaitan dengan dugaan KKN relasi bisnis anak presiden dengan grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan," ucap Ubedillah di KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (10/1/2021).
Ubedillah mengaku telah menyampaikan laporannya ini ke Unit Pengaduan Masyarakat di KPK. Dia turut menunjukkan tanda terima laporan itu yang tertanggal 10 Januari 2022. Nama Ubedillah sendiri tertulis dalam laporan itu sebagai dosen di UNJ.
Ubedillah turut menyertakan dokumen yang memaparkan dugaannya itu. Dia menghubungkan tentang adanya perusahaan PT BMH yang dimiliki grup bisnis PT SM terjerat kasus kebakaran hutan tetapi kasusnya tidak jelas penanganannya.
Lantas di sisi lain, grup bisnis itu disebut Ubedillah mengucurkan investasi ke perusahaan yang dimiliki Kaesang dan Gibran. Ubedillah pun mengaitkan antara urusan bisnis itu dengan perkara perusahaan yang pengusutan hukumnya tidak jelas karena adanya konflik kepentingan atau conflict of interest. Selain itu, dia mengaitkan dengan sosok yang berkaitan dengan grup bisnis itu yang menjadi duta besar RI.
"Itu dugaan KKN yang sangat jelas saya kira yang bisa dibaca oleh publik. Karena nggak mungkin perusahaan baru anak presiden mendapat suntikan dana penyertaan modal dari perusahaan-perusahaan yang juga itu dengan PT SM 2 kali diberikan kucuran dana, angkanya kurang-lebih Rp 99,3 miliar dalam waktu dekat," ucap Ubedillah.
"Jadi saya kira dan setelah itu kemudian anak presiden membeli saham perusahaan di sebuah perusahaan dengan angka yang juga cukup fantastik Rp 92 miliar dan itu bagi kami tanda tanya besar, apakah seorang anak muda yang baru mendirikan sebuah perusahaan dengan mudah mendapatkan penyertaan modal dengan angka cukup pantas kalau dia bukan anak presiden? Saya kira itu, kita untuk dan meminta kepada KPK untuk menyelidiki dan meminta kepada KPK agar menjadi terang benderang dan bagaimana kemudian bila perlu presiden dipanggil untuk menjelaskan posisi ini," imbuhnya.