KPK membuka opsi untuk mendalami keterlibatan pihak DPRD Kota Bekasi atas kasus yang menyeret Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi. Rahmat Effendi diketahui terjaring OTT KPK terkait kasus dugaan suap jual beli jabatan dan pengadaan barang dan jasa.
"Yang berikutnya tadi ada juga bagaimana keterlibatan dengan DPRD, tentu ini akan kita dalami," kata Ketua KPK Firli Bahuri, dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (6/1/2022).
Firli lantas memaparkan sektor yang rawan terjadi korupsi. Di antaranya pada saat penyusunan APBD hingga pengesahan APBD.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tetapi yang pasti daerah rawan, wilayah-wilayah rawan, terjadi korupsi itu setidaknya ada empat tahap. Di bidang perencanaan itu rawan korupsi, bagaimana menyusun APBD, bagaimana menyusun APBD perubahan, itu rawan korupsi. Bagaimana pengesahan APBD, APBD perubahan, rawan korupsi. Bagaimana pelaksanaan APBD, eksekusi anggaran, juga rawan korupsi, terakhir juga termasuk pengawasan, di tahap pengawasan pun rawan korupsi," ucap Firli.
Selanjutnya, Firli berharap semua pihak bisa bersama-sama menuntaskan masalah ini. Hal itu guna mewujudkan Indonesia bebas korupsi.
"Inilah PR kita bersama, saya sungguh berharap seluruh lapisan masyarakat, segenap komponen bangsa sama-sama KPK untuk membersihkan Indonesia dari korupsi," ujarnya.
Dalam kasus ini, total KPK menjerat 9 tersangka. Berikut rinciannya:
Sebagai pemberi:
1. Ali Amril (AA) sebagai Direktur PT ME (MAM Energindo);
2. Lai Bui Min alias Anen (LBM) sebagai swasta;
3. Suryadi (SY) sebagai Direktur PT KBR (Kota Bintang Rayatri) dan PT HS (Hanaveri Sentosa); dan
4. Makhfud Saifudin (MS) sebagai Camat Rawalumbu.
Sebagai penerima:
5. Rahmat Effendi (RE) sebagai Wali Kota Bekasi;
6. M Bunyamin (MB) sebagai Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Bekasi;
7. Mulyadi alias Bayong (MY) sebagai Lurah Jatisari;
8. Wahyudin (WY) sebagai Camat Jatisampurna; dan
9. Jumhana Lutfi (JL) sebagai Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kota Bekasi.
Untuk tersangka pemberi dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan tersangka penerima dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf f serta Pasal 12B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
(azh/fas)