Gugat PT ke MK agar Jadi 0%, 27 WNI Kutip Pendapat Fadli Zon-Ketua KPK

Gugat PT ke MK agar Jadi 0%, 27 WNI Kutip Pendapat Fadli Zon-Ketua KPK

Andi Saputra - detikNews
Senin, 03 Jan 2022 15:45 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Sebanyak 27 WNI yang tersebar di seluruh penjuru dunia mengajukan gugatan presidential threshold 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar menjadi 0 persen. Untuk meyakinkan MK, mereka mengutip pendapat Fadli Zon hingga mantan Ketua MK Jimly Assidhiqqie.

Berdasarkan berkas permohonan yang dipublikasi MK, Senin (3/1/2022), ke-27 orang itu adalah:
Tata Kesantra, tinggal di New York, Amerika Serikat
Ida irmayani, tinggal di New York, Amerika Serikat
Sri Mulyanti Masri, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
Safur Baktiar, tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat
Padma Anwar, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
Chritsisco Komari, tinggal di California, Amerika Serikat
Krisna Yudha, tinggal di Washington, Amerika Serikat
Eni Garniasih Kusnadi, tinggal di San Jose, California, Amerika Serikat
Novi Karlinah, tinggal di Redwood City, California, Amerika Serikat
Nurul Islah, tinggal di Everett, Washington, Amerika Serikat
Faisal Aminy, tinggal di Bothell, Washington, Amerika Serikat
Mohammad Maudy Alvi, tinggal di Bonn, Jerman
Marnila Buckingham, tinggal di West Sussex, United Kingdom
Deddy Heyder Sungkar, tinggal di Amsterdam, Belanda
Rahmatiah, tinggal di Paris, Prancis
Mutia Saufni Fisher, tinggal di Swiss
Karina Ratna Kanya, tinggal di Singapura
Winda Oktaviana, tinggal di Linkuo, Taiwan
Tunjiah, tinggal di Kowloon, Hong Kong
Muji Hasanah, tinggal di Hong Kong
Agus Riwayanto, tinggal di Horoekimae, Jepang
Budi Satya Pramudia, tinggal di Beckenham, Australia
Jumiko Sakarosa, tinggal di Gosnells, Australia
Ratih Ratna Purnami, tinggal di Langford, Australia
Fatma Lenggogeni, tinggal di New South Wales, Australia
Edwin Syafdinal Syafril, tinggal di Al-Khor, Qatar
Agri Sumara, tinggal di Al-Kohr, Qatar

"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian permohonan para pemohon.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gugatan ini daftarkan secara online ke MK pada 31 Desember 2021 menjelang tengah malam. Pasal 222 yang diminta dihapus itu berbunyi:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

ADVERTISEMENT

Dalam berkas itu, mereka mengutip sejumlah pendapat orang. Berikut di antaranya:

Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2009
"Sebaiknya ambang batas pencalonan presiden 20 persen ditiadakan. Penghapusan itu perlu agar ada potensi munculnya lebih dari dua kandidat calon presiden-calon wakil presiden. Jika hanya dua pasang kandidat seperti Pemilu 2019 ini, akan memperlihatkan pembelahan di kalangan masyarakat".

Fadli Zon, Anggota DPR RI Periode 2019-2024
"Seharusnya memang presidential threshold tidak harus 20%, karena konstitusi mengatakan setiap warga negara berhak memilih dan dipilih. Semangatnya mempermudah bukan mempersulit".

Tri Wibowo Santoso, Direktur Eksekutif Indo Parameter
"Aturan ambang batas dalam pencalonan presiden (presidential threshold) memberikan peluang mensponsori figur calon pemimpin yang bisa dikendalikan. Mahar yang tidak murah dijadikan peluang untuk mensponsori figur yang ingin maju sebagai presiden. Biaya yang dikeluarkan oleh para oligarki bukan gratis, sebab bila sosok atau figurnya yang dibiayai terpilih, maka kepentingan para oligarki harus diakomodir".

Pengurus Pusat Muhammadiyah
"Muhammadiyah tidak setuju dengan adanya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Hal itu membatasi hak warga negara untuk dipilih sebagai calon presiden. Ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan prinsip kesempatan setiap warga negara yang memiliki hak menjadi pemimpin di Indonesia".

Hendri Satrio, Pendiri Lembaga Survei KedaiKopi/Pengamat Politik
"Saya setuju, nol persenin aja presidential threshold, dengan Presidential threshold yang menjadi nol persen, maka para calon-calon presiden potensial bisa keluar dari sarangnya untuk mengikuti Pemilihan Presiden 2024".

Siti Zuhro, Pakar Politik/Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik-LIPI
"Aturan ambang batas Pemilihan Presiden terbukti mengakibatkan polarisasi dan disharmoni sosial yang mengancam persatuan nasional. Ambang batas pemilihan presiden membuat fungsi representasi tidak efektif karena pasangan calon yang muncul berasal dari kubu tertentu saja. Menurut Siti Zuhro, ambang batas Pemilihan Presiden tidak diperlukan, karena cuma perlu ambang batas Pemilihan Legislatif".

Tamsil Linrung, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Periode 2019-2024
"Hulu persoalan adalah presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden. Aturan itu mengebiri daulat rakyat. Membatasi calon-calon terbaik tampil di gelanggang".

Hamdan Zoelva, Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013-2015
"Sistem ambang batas presiden atau presidential threshold saat ini tak logis diterapkan karena menghalangi partai politik yang tidak lolos parlemen mencalonkan kader potensialnya maju dalam Pemilihan Presiden. Sistem presidential threshold ini harus dihapus menjadi nol persen sebagai akibat keserentakan pemilu".

Syarief Hasan, Wakil Ketua MPR
"Aturan presidential threshold atau batas pengajuan calon presiden untuk Pemilihan Presiden 2024 perlu ditinjau ulang. Aturan ini jelas membatasi partisipasi politik dan hak setiap warga negara Indonesia. Lebih lanjut, menurut Syarief Hasan, UUD 1945 tidak pernah mengatur batasan persentase tertentu untuk pengajuan calon presiden dan wakil presiden. Pasal 6A UUD 1945 pada pokoknya menegaskan bahwa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan diusulkan olah partai politik atau gabungan partai politik sebelum Pemilihan Umum. Oleh karena itu, berbagai batasan atau hambatan yang diatur dalam regulasi kepemiluan adalah ketentuan yang sejatinya tidak tepat menafsirkan maksud konstitusi. Dengan kata lain, penghapusan presidential threshold justru meningkatkan kualitas demokrasi sesuai konstitusi".

Feri Amsari, Dosen Universitas Andalas Padang/Ahli Hukum Tata Negara
"Presidential threshold atau batas pengajuan calon presiden dalam undang-undang Dasar (UUD) 1945. Justru, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak 20 persen tidak diatur di menyebut pembatasan dalam pencalonan presiden. Tapi, setiap partai politik dapat mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Jadi secara konstitusional keberadaan ambang batas pencalonan presiden 20 persen itu tidak dibenarkan keberadaannya"

Zainal Arifin Mochtar, Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
"Ketentuan presidential threshold merupakan sebuah upaya untuk menguatkan oligarki partai politik. Presidential threshold ini bahkan cenderung tidak sejalan dengan sistem presidensial. Sebab, dalam sistem tersebut presiden tidak mudah dijatuhkan seperti di negara-negara yang menerapkan sistem parlementer. Penerapan ketentuan presidential threshold telah mengamputasi hak partai politik peserta Pemilihan Umum yang telah ditetapkan KPU, partai politik baru atau lama yang tidak lolos ke Senayan".

Irmanputra Sidin, Ahli Hukum Tata Negara
"Aturan ambang batas pencalonan presiden merupakan pelanggaran konstitusi. Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, dan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa hak setiap partai politik peserta Pemilihan Umum mengusulkan pasangan calon presiden. Lebih lanjut, menurutnya, ambang batas pencalonan presiden sesungguhnya ingin melanggengkan fenomena 'kawin paksa calon presiden', mengingat hak setiap partai politik sebagai peserta Pemilihan Umum untuk mengajukan pasangan calon presiden telah dilanggar, sehingga pilihan pasangan calon akan semakin mempersempit menu prasmanan calon presiden dari setiap partai politik".

Margarito Kamis, Ahli Hukum Tata Negara
"Proses pencalonan presiden dalam Pemilihan Umum yang diatur di Pasal 6A UUD 1945 tidak menyebutkan presidential threshold sebesar 20 persen. Justru yang ada adalah membuka seluas-luasnya kesempatan bagi semua orang menjadi calon presiden. Karena itu tidak ada alasan (presidential threshold dipertahankan), kalau kita mau beres berkonstitusi cabut presidential threshold itu, tidak ada landasan kecuali akal-akalan".

Titi Anggraini, Ahli Pemilihan Umum
"Ambang batas calon presiden (presidential threshold) 20 persen dapat menghambat pencalonan tokoh-tokoh alternatif di luar elite partai politik. Ketentuan ambang batas yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilihan Umum, menyebabkan pengaruh partai politik terlalu kuat dalam menentukan tokoh-tokoh yang dapat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Ketentuan ambang batas 20 persen itu juga menyebabkan kuatnya polarisasi atau perpecahan di masyarakat. Jika ketentuan ambang batas terus berlaku, maka Pemilihan Umum 2024 akan menyebabkan polarisasi kian menguat antarkelompok masyarakat. Polarisasi disintegratif yang tidak berorientasi pada gagasan dan program. (Polarisasi itu) justru berorientasi pada pendekatan yang memecah belah. Itu kecenderungannya".

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri
"Seharusnya keberlakuan president threshold dihapuskan atau nol persen, karena dalam praktiknya president threshold telah mengakibatkan terjadinya tindak korupsi sebagai akibat mahalnya biaya politik (politik transaksional)".

Rizal Ramli
Rizal ditawari oleh salah satu partai politik untuk berkontestasi dengan diharuskan membayar Rp 1 triliun di mana dalam penyelenggaraan Pemilihan Presiden tahun 2009.

Selain 27 nama penggugat di atas, berikut daftar pemohon yang telah duluan mengajukan ke MK:

1. Ferry Joko Yuliantono

Waketum Partai Gerindra itu menggugat presidential threshold dari 20 persen menjadi 0 persen dengan alasan aturan itu dinilai menguntungkan dan menyuburkan oligarki.

2. Gatot Nurmantyo
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menggugat syarat ambang batas pencapresan (presidential threshold) 20 persen menjadi 0 persen ke MK. Menurutnya, dalam ilmu hukum secara teoretik dikenal prinsip 'law changes by reasons'. Dalam tradisi fikih juga dikenal prinsip yang sama, yaitu 'fikih berubah jika illat-nya (alasan hukumnya) berubah'.

3. Dua Anggota DPD

Dua anggota DPD, Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung, menggugat ke MK pekan lalu soal presidential threshold (PT) agar menjadi 0 persen. Fachrul Razi meminta doa dukungan kepada seluruh Indonesia agar demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan.

"Kedua, kita doakan kepada Allah SWT semoga tergugah hati Hakim MK memperhatikan dan memutuskan seadil-adilnya dalam rangka yang terbaik terhadap demokrasi Indonesia dan kita harapkan nol persen jawaban terhadap masa depan Indonesia. Salam PT nol persen," tegas Fachrul Razi.

4. Lieus Sungkharisma

Lieus beralasan, suatu hak yang diberikan konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional (constitutional right) tidak boleh dihilangkan/direduksi dalam peraturan yang lebih rendah (undang-undang). Ketentuan Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 yang menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilihan umum jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.

"Terutama Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sudah seharusnya pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat," ujar Lieus.

5. Tiga Anggota DPD

Fahira Idris, Tamsil Linrung, dan Edwin Pratama Putra mengajukan gugatan serupa. Menurut Fahira Idris dkk, norma Pasal 222 UU a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (3) yang memberikan kesempatan kepada:

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

"Bahwa dengan berlakunya pasal a quo, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya terkait dengan sistem pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden," beber Fahira Idris, yang memberikan kuasa ke Ahmad Yani itu.

(asp/yld)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads