Pemerintah melarang ekspor batu bara selama satu bulan melalui surat edaran yang dikeluarkan Dirjen Minerba Kementerian ESDM dan berlaku per 1 Januari 2022. Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah meminta larangan ekspor yang terkesan dadakan ini dikaji ulang.
"Kebijakan rem mendadak ini sangat tidak baik bagi iklim usaha. Padahal Presiden Joko Widodo rela melakukan banyak hal agar iklim usaha tumbuh subur. Kebijakan seperti ini kita minta tidak terulang lagi di masa mendatang," ujar Said kepada wartawan, Senin (3/1/2022).
Ketua DPP PDIP Bidang Ekonomi ini mengatakan Indonesia sebagai negara ketiga terbesar penghasil batu bara dunia sebaiknya tidak menutup diri. Pelarangan ekspor batu bara ini membuat sejumlah pengusaha meradang dan meminta kebijakan ini ditinjau ulang.
"Wajar bila sejumlah perusahaan batu bara Tanah Air meradang dan meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan pelarangan ekspor batu bara," kata Said.
Berikut pernyataan lengkap Said Abdullah:
Kaji Ulang Larang Ekspor Batu Bara
Batubara sampai kini masih menjadi produk penting dunia. Disadari bahwa batubara salah satu sumber energi fosil yang menyumbang emisi dan deforestasi, tetapi lambatnya peralihan teknologi hijau menyebabkan batubara masih menjadi komoditas utama dunia. Pada tahun 2020, menurut British Petroleum Global Company, Tiongkok, India, dan Indonesia adalah negara tiga besar penghasil batubara dunia, Amerika Serikat di urutan keempat, disusul Australia dan Rusia.
Sudah menjadi siklus musiman bila jelang musim dingin sebalahan bumi utara dan selatan permintaan akan batubara meningkat. Tingginya permintaan batubara ini diakibatkan konsumsi listrik di masa musim dingin meningkat drastis. Pangkal masalahnya sebagain besar negara negara di dunia, bahkan negara maju seperti Inggris, Jepang, Amerika Serikat dan Tiongkok masih mengandalkan pembangkit listrik berbasis uap (PLTU) yang suplai energinya berbahan batubara. Tekanan ekonomi sebagian besar negara negara di dunia akibat pandemi Covid-19 memaksa banyak negara masih mempertahankan energi berbasis batubara, pertimbangannya tentu simpel, lebih murah.
Menurut laporan Climate Transparency Report 2020, tercatat sejumlah negara maju seperti; Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Jerman, Jepang, Korea Selatan, Polandia, Perancis, Kanada, Italia, dan Inggris masih kecanduan batubara. Mereka belum cepat bisa move on meninggalkan batubara.
Pada semester kedua 2021 hingga awal tahun 2022 batubara menunjukkan tren kenaikan harga. Harga Batubara Acuan (HBA) bulan September 2021 hingga ke angka USD 150,03 per Ton. Angka ini naik USD 19,04 per ton dibanding HBA bulan Agustus 2021 yang mencapai angka 130,99 per ton. Pada Bulan November 2021 HBA kembali meroket menembus USD 215,1 per ton. Harga Batu Bara Acuan (HBA) Desember 2021 anjlok ke posisi US$159,79 per ton atau turun 25,7 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Meskipun pada Desember 2021 HBA turun, akan tetapi masih menunjukkan harga yang tinggi. Turunnya HBA pada Desember 2021 karena Tiongkok meningkatkan produksi batubaranya, setelah bulan bulan sebelumnya kekurangan produksi akibat kecelakaan.
Pada tahun 2022 ini saya memperkirakan batubara masih menjadi produk primadona, sebab tidak serta merta negara negara maju pada tahun 2022 mengganti PLTU mereka. Terlebih tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 karena varian omicron masih merajalela di sejumlah negara, akibat fiskal yang cekak ini membuat PLTU masih dipertahankan. Saya memperkirakan harga batubara masih di kisaran diatas USD 120 per ton. Bencana La Nina yang diprediksikan berlangsung lama mengakibatkan permintaan suplai listrik masih akan tinggi. Faktor ketegangan antara Australia dan Tiongkok akan berdampak suplai batubara Australia ke Tiongkok. Keadaan ini mendorong HBA bertengger di posisi tinggi.
Sebagai negara ketiga terbesar penghasil batubara dunia, pemerintah malah menutup diri, melarang kebijakan ekspor batubara, setidaknya selama Januari 2022. Wajar bila sejumlah perusahaan batubara tanah air meradang dan meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan pelarangan ekspor batubara. Atas kebijakan ini, saya berpandangan;
1. Kita sadari konsumsi batubara PLN dan sejumlah produsen listrik swasta naik di tahun 2021, sebab kegiatan sektor riil mulai meningkat seiring dengan stabil (flat) angka Covid-19 di tanah air. Bila tahun 2020 lalu konsumsi batubara PLN bisa di bawah 100 juta ton, dan tahun 2021 meningkat menjadi 115,6 juta ton, PLN memperkirakan kebutuhan batubara tahun 2022 mencapai 119 juta ton. Pemerintah perlu memastikan ketersediaan cadangan batubara nasional melalui sejumlah produsen batubara besar. Langkah ini penting untuk memastikan kelangsungan suplai listrik nasional.
2. Perusahaan Listrik Negara (PLN) seharusnya melakukan perencanaan dan memiliki prediksi atas supply and demand batubara nasional dan global, sehingga tidak strategis dengan tiba tiba mengumumkan menipisnya cadangan batubaranya. Bila jauh-jauh hari PLN bisa memperbaiki perencanaan stok batubara, maka Kementerian ESDM tidak serta merta menarik rem mendadak, melarang ekspor batubara. Dengan perencanaan stok batubara yang tidak baik dari PLN, akibatnya kenaikan HBA tidak dapat menjadi berkah bagi perusahaan dan negara. Padahal melalui ekspor batubara negara menikmati tingginya pendapatan negara. Bahkan setelah 12 tahun kita shortfall pajak, tahun 2021 kemarin penerimaan perpajakan tembus 100 persen dari target. Sumbernya berasal dari naiknya harga harga komoditas utama dunia, salah satunya batubara. PLN dan Kementerian ESDM secepat mungkin wajib membenahi manajemen suplai batubara ini, agar larangan kebijakan eskpor batubara tidak berlangsung lama. Kebijakan rem mendadak ini sangat tidak baik bagi iklim usaha. Padahal Presiden Joko Widodo rela melakukan banyak hal agar iklim usaha tumbuh subur. Kebijakan seperti ini kita minta tidak terulang lagi di masa mendatang.
3. PLN harus melakukan efisiensi. Ketiadaan pesaing, karena PLN hanya menjadi pemain tunggal listrik nasional membuat PLN tidak kompetitif, malah cenderung merugi dan senantiasa menyusu kepada APBN. Keadaan ini sangat tidak baik. Sekedar untuk mengatur manajemen stok batubara saja tidak kompeten, apalagi harus bersaing menghadapi berbagai tantangan ke depan. Bagaimana jika sejumlah negara maju seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Jerman segera memproduksi power bank untuk konsumsi listrik rumah tangga dengan harga murah? Atau harga solar panel menjadi lebih ekonomis, peran PLN pasti akan tergantikan, begitulah hukum alam, bagi yang tidak bisa berbenah mengikuti arah perubahan akan ditelan zaman.
4. Akibat kebijakan pelarangan ekspor ini kita tidak bisa menikmati berkah devisa. Padahal peluang devisa yang kita dapatkan dari ekspor batubara USD 3 miliar/ bulan. Hal ini belum menghitung pendapatan pajak dan bukan pajak yang didapatkan oleh pemerintah. Padahal dari sisi fiskal pendapatan negara itu sangat kita butuhkan pada tahun 2022 untuk membenahi fiskal kita akibat terkoreksi oleh beban pembiayaan utang yang besar akibat pandemi Covid19.
5. Pelarangan ekspor batubara akan menjadi beban para perusahaan perkapalan. Menurut hitungan para pelaku perkapalan, perusahaan akan terkena biaya tambahan penambahan waktu pemakaian (demurrage) yang cukup besar (US$20,000 - US$40,000 per hari per kapal) yang akan membebani perusahaan-perusahaan pengekspor.
6. Reputasi dan kehandalan Indonesia sebagai pemasok batubara dunia akan dipertanyakan. Sehingga berbagai komitmen pembelian batubara dari Indonesia akan dipertanyakan. Para eksportir batubara pasti akan kena penalty akibat kebijakan penghentian pengiriman. Alih alih menikmati berkah kenaikan batubara, mereka malah kena getah penalty dari buyer di luar negeri.
Demikian, agar pertimbangan pertimbangan di atas dapat menjadi catatan serius kepada Kementerian ESDM dan PLN ke depan.
Jakarta 2 Januari 2022
Ketua Badan Anggaran DPR
MH Said Abdullah