Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan aktivitas organisasi mesti tetap berjalan meski dalam situasi pandemi COVID-19. Organisasi, kata LaNyalla, harus dapat beradaptasi dengan cara new normal, termasuk dalam proses kaderisasi.
Hal itu disampaikan LaNyalla saat memberikan arahan pada acara Musyawarah Wilayah II Satuan Siswa Pelajar dan Mahasiswa (SAPMA) Pemuda Pancasila, Jawa Timur, Sabtu (18/12/2021).
"Sebenarnya tidak ada alasan, bahwa karena pandemi, maka sejumlah agenda organisasi harus berhenti. Termasuk penataan administrasi keanggotaan, pelaksanaan agenda kegiatan dan musyawarah-musyawarah, baik di tingkat cabang maupun wilayah. Target organisasi harus tetap jalan dan tercapai," ungkap LaNyalla dikutip dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/12/2021).
Senator asal Jawa Timur itu menekankan pandemi tidak boleh menjadi alasan pembenar atas berhenti atau terhambatnya roda organisasi. Apalagi, kata dia, ormas Pemuda Pancasila dan seluruh organisasi turunannya, termasuk SAPMA PP sudah terbukti selalu mampu untuk menemukan jalan keluar atas berbagai masalah yang ada.
Pada kesempatan itu, LaNyalla juga menyinggung soal kemandirian dan kedaulatan yang kuat, sebuah negara hanya akan menjadi negara yang diatur dan dikendalikan oleh negara lain melalui forum-forum dunia. Oleh sebab itu, ia mendorong agar organisasi pemuda seperti SAPMA berkontribusi mewujudkan kedaulatan bangsa.
"Itulah pentingnya SAPMA sebagai organisasi para pemuda calon pemimpin bangsa masa depan untuk mengenali jati diri bangsa ini secara utuh, untuk memahami hakikat dari tujuan lahirnya bangsa ini, untuk mengetahui secara persis cita-cita luhur para pendiri bangsa ini," cetus LaNyalla.
Salah satu hal yang penting dilakukan organisasi pemuda, tutur LaNyalla, adalah melakukan sosialisasi kepada semua stakeholder bangsa, khususnya para pelajar dan mahasiswa serta generasi muda pada umumnya.
"Karena hari ini, bangsa Indonesia telah jauh meninggalkan cita-cita para pendiri bangsa. Bahkan karya agung para pendiri bangsa, yaitu sistem Demokrasi Pancasila dan Sistem Ekonomi Pancasila, hari ini sudah tinggal cerita," ulas LaNyalla.
LaNyalla menilai Indonesia saat ini adalah negara yang menganut sistem demokrasi liberal dan sistem ekonomi kapitalistik, bukan Demokrasi Pancasila. Sebab, tidak ada lagi prinsip perwakilan seluruh elemen bangsa di lembaga tertinggi negara sejak Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam.
"Satu-satunya penentu arah perjalanan bangsa Indonesia diserahkan kepada partai politik, karena hanya partai politik yang menentukan calon pemimpin nasional untuk dipilih oleh rakyat," cecar LaNyalla.
Ia menjabarkan hanya partai politik melalui fraksi di DPR RI yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga negara secara hukum.
"Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all. Karena semua kendali berada di tangan partai politik tanpa reserve," ungkap LaNyalla.
Kondisi tersebut, lanjut LaNyalla, melahirkan tirani mayoritas, di mana partai-partai besar yang berkoalisi akan selalu memenangkan voting di parlemen sebagai pembenar atas apapun kebijakan yang dipilih.
"Padahal, di republik ini cukup banyak elemen-elemen non-partai politik yang terhimpun dalam golongan-golongan yang berada di dalam stakeholder di daerah-daerah. Di mana mereka memiliki kesejarahan yang panjang dalam ikut menentukan lahirnya bangsa ini," cetus LaNyalla.
Ia menambahkan entitas kerajaan dan kesultanan Nusantara, entitas ulama dan tokoh agama, entitas pejuang kemerdekaan dan militer, entitas para cendekiawan dan akademisi, para profesional dan lainnya juga semestinya punya perwakilan di parlemen.
"Tetapi mereka tidak dapat ikut menentukan arah perjalanan bangsa, karena mereka sudah tidak lagi terwakili dalam demokrasi liberal yang berlaku di Indonesia saat ini," terang LaNyalla.
Ia menyatakan DPD RI sebagai wakil daerah tidak ikut menjadi penentu pemutus undang-undang, dan tidak dapat mengajukan atau mengusung calon pemimpin nasional.
Apalagi, lanjutnya, partai politik bersepakat memberi ambang batas pencalonan presiden melalui presidential threshold, sehingga lengkap sudah dominasi partai politik untuk memasung Vox Populi dengan menyajikan calon pilihan mereka, di mana rakyat dipaksa untuk memilih.
"Inilah tugas kita hari ini, untuk menggugah kesadaran seluruh bangsa Indonesia, bahwa ada yang salah dengan sistem demokrasi kita yang secara terang benderang meninggalkan Demokrasi Pancasila, yang merupakan karya luhur para pendiri bangsa," kata LaNyalla.
Begitu pula dengan sistem ekonomi nasional, ulas LaNyalla, sejak amandemen 2002 Indonesia telah meninggalkan sistem ekonomi Pancasila yang menitikberatkan kepada pemisahan yang jelas antara wilayah koperasi, BUMN dan swasta, menjadi sistem ekonomi kapitalistik.
LaNyalla menguraikan pada amandemen tahun 2002 telah menambah 2 ayat di pasal 33 konstitusi, sehingga membuka peluang kepada swasta nasional maupun asing untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak dengan dalih efisiensi.
"Tidak heran bila mereka yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan tetap miskin. Dan mereka yang kaya raya adalah segelintir orang yang menguasai hampir separuh kekayaan Indonesia," sebut LaNyalla.
LaNyalla pun mengajak kader-kader SAPMA untuk membaca kembali tujuan pendirian SAPMA. Ia berharap kader SAPMA berhikmat menjalankan tujuan dari organisasi ini dibentuk.
"Saya ingatkan bahwa tujuan SAPMA berdiri adalah untuk membentuk karakter pemuda yang berpendidikan, berkepribadian dan berintelektual yang dilandasi semangat kebangkitan nasional berdasarkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia," urai LaNyalla.
(prf/ega)