Presidensi G20 RI, GMNI Desak Solusi Masalah Pajak hingga Raksasa Teknologi

Suara Mahasiswa

Presidensi G20 RI, GMNI Desak Solusi Masalah Pajak hingga Raksasa Teknologi

Danu Damarjati - detikNews
Kamis, 09 Des 2021 11:57 WIB
Ketua Umum GMNI, Arjuna Aldino Putra. (Dok GMNI)
Ketua Umum GMNI, Arjuna Aldino Putra. (Dok GMNI)
Jakarta -

Republik Indonesia (RI) menjadi Presidensi G20. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) meminta RI menyuarakan masalah ketimpangan ekonomi global, juga mencari solusi atas ancaman raksasa teknologi terhadap kedaulatan negara.

Indonesia resmi menjadi presidensi pertemuan G20 mulai 1 Desember 2021 hingga pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada November 2022. Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino, berharap Indonesia menyuarakan tata kelola ekonomi yang adil usai amukan pandemi COVID-19.

Hal ini disampaikan GMNI lewat keterangan tertulisnya, Kamis (9/12/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

GMNI mengusulkan agar Indonesia mendorong adanya komitmen negara-negara G20 untuk melawan praktik penghindaran pajak yang selama ini merugikan semua negara. Maka menurut Arjuna perlu ada kesepakatan aturan pajak global yang lebih adil. Pasalnya, berdasarkan data OECD, sekitar 60%-80% perdagangan internasional merupakan transaksi afiliasi perusahan multinasional yang menghindari pajak.

"Perlu ada kesepakatan pajak minimum global. Indonesia harus mengusulkan pajak minimum global sebesar 20% terhadap perusahaan-perusahaan multinasional raksasa, serta komitmen negara-negara G-20 agar memerangi skema perlindungan pajak dan shell company," kata Arjuna.

ADVERTISEMENT

Menurut Arjuna, saat ini masih banyak negara yang menjadikan tax haven sebagai sumber Foreign Direct Investment/FDI sehingga banyak negara yang kehilangan potensi pajak akibat sejumlah laba perusahaan yang beroperasi diparkir di luar negeri. McKinsey pernah menyebut jumlah asset orang Indonesia di luar negeri mencapai Rp 4.000 triliun. Semua ini berkaitan dengan praktik transfer pricing, pelarian keuntungan (profit shifting), pencucian uang (money laundering), hingga penggelapan pajak (tax evasion).

"Skema penghindaran pajak semakin kompleks, canggih dan bersifat beyond the nation state. Maka perlu ada skema global yang kuat. Indonesia tidak bisa sendiri. KTT G20 ini momentum tepat. Mengutip kata Bung Karno, nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme," kata Arjuna.

Selain itu, GMNI juga mengusulkan agar agenda G20 juga merumuskan kesepakatan aturan baru untuk menghindari monopoli dari perusahaan raksasa teknologi. Pasalnya, menurut Arjuna perusahaan raksasa teknologi seperti Apple Inc., Amazon.com Inc., Facebook Inc., dan induk Google, Alphabet Inc, berwatak monopolistik dan oligopoli, bahkan kerap membeli atau menghancurkan perusahaan yang lebih kecil. Untuk itu, KTT G-20 di Indonesia ini perlu mengkaji aturan untuk mengantisipasi monopoli.

"Raksasa teknologi seperti Apple, Facebook dan Google mulai berwatak monopolistik dan oligopolis. Forum G-20 ini harus menghasilkan aturan yang berfokus mengendalikan kekuatan raksasa teknologi. Hal ini untuk melindungi konsumen dan startup kecil. Jika tidak, konsumen dan startup kecil akan sulit berkembang akibat praktik monopoli," ujar Arjuna

Isu tentang pengendalian kekuatan raksasa teknologi menurut Arjuna sangat mendesak untuk dibahas bukan semata-mata sebagai isu ekonomi namun juga soal konsep kedaulatan negara-bangsa. Dengan semakin besarnya kekuatan monopolistik raksasa teknologi maka berpotensi menggerus kedaulatan negara-bangsa. Karena perusahaan raksasa teknologi ini menjalankan bentuk kedaulatan atas wilayah yang berkembang pesat yang melampaui jangkauan regulator negara-bangsa, yakni ruang digital. Kedaulatan atas ruang digital ini melampaui kedaulatan konvensional yang dimiliki oleh negara-bangsa.

"Pengendalian atas kekuatan raksasa teknologi sangat urgen dibahas, karena hari ini pada faktanya harus kita akui perusahaan raksasa teknologi ini memiliki kedaulatan atas wilayah dalam bentuk kontemporer yaitu ruang digital. Jika dibiarkan berkembang dengan watak monopolistik maka berbahaya bagi kedaulatan negara-bangsa. Bukan tidak mungkin mereka senyatanya lebih berkuasa dari negara-bangsa bahkan melampauinya," tutup Arjuna.

Simak Video 'Presidensi G20 Indonesia, Jokowi Fokus Pada 3 Hal Ini':

[Gambas:Video 20detik]



(dnu/aik)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads