Kolom Hikmah

Zuhud

Aunur Rofiq - detikNews
Jumat, 10 Des 2021 07:52 WIB
Foto: Ilustrasi: Zaki Alfaraby/detikcom
Jakarta -

Zuhud merupakan langkah meninggalkan kesenangan dunia yang fana, demi meraih kebahagiaan akhirat yang kekal. Sikap ini telah meneguhkan hati untuk menolak kehidupan dunia yang dihadapi dan menolak keinginan hawa nafsu.

Langkah pertama zuhud adalah adanya kepekaan yang tinggi terhadap perkara halal dan haram. Adapun langkah kedua adalah sebuah tahapan yang sempurna, yaitu kehidupan dengan kecermatan yang tinggi dan kepekaan yang tajam terhadap hal-hal mubah dan hal-hal yang disyariatkan.

Di dalam hati seorang zahid selalu bergema hakikat firman Allah dalam surah an-Nisa' ayat 77 sebagai berikut, " Katakanlah: ' Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa... ." Dilanjutkan surah al-Ankabut ayat 64, " Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui." Dari kedua ayat ini jelas bahwa Allah memberikan tuntunan bahwa jangan terlena dengan kehidupan dunia dengan melalaikan kehidupan akhirat. Kehidupan dunia ini adalah ladang dalam menggapai keridha'an-Nya, maka jadikan kehidupan dunia untuk itu.

Menurut Sufyan ats- Tsauri dan beberapa ulama salaf menyatakan bahwa, sesungguhnya zuhud adalah perbuatan hati yang dilakukan sesuai keridha'an Allah dan menutup sikap panjang angan-angan. Jadi zuhud bukan dengan memakai pakaian yang butut dan makan makanan yang buruk. Muhammad Fethullah Gulen membagi tiga tanda bagi zuhud sejati yaitu :

1. Tidak bergembira dengan dunia atas apa yang ada, dan tidak bersedih atas apa yang hilang.
2. Tidak senang dengan pujian dan tidak bersedih dengan celaan.
3. Selalu mengutamakan penghambaan diri kepada Allah dan gemar berkhalwat bersama-Nya ketika menghadapi segala sesuatu yang selain Dia.

Hakikat dari zuhud adalah membenci sesuatu dan berpaling pada sesuatu yang lain. Siapapun yang meninggalkan kelebihan dunia, membencinya dan menyenangi akhirat, berarti dia adalah orang yang zuhud dari dunia. Adapun keutamaan zuhud ditunjukkan dalam dua ayat di bawah ini :
1. Surah al-Kahfi ayat 7, " Sesungguhnya Kami menjadikan sesuatu yang ada di atas bumi sebagai hiasan baginya agar Kami menguji, siapa diantara mereka yang paling bagus amalnya." Dalam ayat ini ditunjukkan bahwa kehidupan dunia merupakan ladang ujian untuk mengetahui bagi siapa yang bagus amalnya. Kita tidak boleh meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, justru inilah untuk menuju keridha'an-Nya.


2. Surah al-Syura ayat 20, " Barang siapa menginginkan kekayaan akhirat, Kami akan menambah kekayaannya. Dan barang siapa menginginkan kekayaan dunia, Kami akan memberikan sedikit darinya, dan di akhirat tidak ada bagian untuknya." Keinginan seseorang terhadap kekayaan akan menentukan jalan hidup akhiratnya, karena itu janganlah bernafsu dalam mencari kekayaan dunia, niatkan sebagai wasilah untuk amalnya.

Ibnu Taimiyah mengatakan, "Hendaknya orang itu mengambil harta dengan jiwa yang tidak bernafsu, agar hartanya diberkahi.
Dan tidak mengambilnya dengan menggebu-gebu dan perasaan takut kurang. Namun harta di sisinya seperti toilet, yang dia butuhkan, tanpa ada posisi sedikitpun di dalam hatinya."


Ada orang yang bertanya kepada Imam Ahmad, "Apakah seseorang bisa menjadi zuhud, sementara dia memiliki 1000 dinar?" Maka dijawabnya, "Betul, dengan syarat, dia tidak merasa bangga ketika hartanya bertambah dan tidak sedih ketika hartanya berkurang. Karena itulah, para sahabat menjadi generasi paling zuhud, meskipun mereka memiliki banyak harta."

Ada kisah menarik, seorang sufi pengelana yang mendapatkan buku dari temannya. Buku itu tentang zuhud, hidup menjauhi dunia dan hanya menggapai ridha' dan rahmat Allah. Tertarik dengan isi buku, maka pengelana ingin menemui penulis buku tersebut. Singkat cerita sampai di rumah penulis buku dan si pengelana merasa kecewa karena rumahnya besar, mewah dan megah. Dia bergumam, " Ternyata hanya tulisannya saja yang bagus."
Semula ragu untuk masuk, namun akhirnya masuk menemui penulis buku disambut dengan penuh hormat dan dijamu dengan segala kemewahan. Sufi ini akhirnya minta pulang dan ditahan penulis buku serta diminta menginap.

Keesokan harinya sufi mohon diri untuk meneruskan perjalanan. " Kalau begitu saya ikut dengan Tuan." Kata penulis. Sufi terkejut dan berusaha menolak, tapi penulis memaksa ikut.


Sufi bilang, " Saya jalan kaki, karena saya tidak mempunyai kendaraan." Dijawab oleh penulis, " Baik tidak apa-apa.... Jalan kaki menyehatkan."
Setelah menempuh perjalanan setengah hari, Sufi berhenti dan berkata, " Tampaknya saya harus kembali ke rumah anda." " Loh kenapa?" Tanya penulis. Jawab sufi," Tempat air saya ketinggalan di kamar." Tanya penulis, " Bukannya kita bisa minum di sungai, bisa beli di pasar. Sufi menjawab, " Tidak bisa kita bisa kehausan kalau tidak jumpa sungai dan apalah artinya perjalanan tanpa tempat air. Itu barang berharga satu-satunya yg saya miliki." Penulis menukas, " Baiklah kalau begitu. Tuan, saya tinggalkan semua kemewahan, kekayaan dan keluarga saya tanpa rasa khawatir sedikitpun, karena saya berharap ridha' dan pertolongan dari Allah. Saya tidak pernah memberi tempat sedikitpun di hati bagi dunia. Apa yang saya miliki adalah titipan Allah yang harus saya jaga dan kembangkan. Saya tidak pernah merasa kehilangan, karena saya tidak pernah merasa memiliki. Apa pantas saya mengaku sebagai pemilik sedangkan saya hanya dititipkan? Tapai anda, Tuan.., anda begitu gelisah hanya gara-gara sebuah tempat air. Padahal tuan hidup miskin. Kezuhudan macam apa yang tuan praktikan? Kalau begitu kita berpisah sampai disini.

Sepeninggal penulis, sufi tersebut melongo, tak bisa berpikir dan tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Dia menyesal telah berprasangka buruk pada orang yang baru dikenalnya. Dia menilai orang dari penampilan saja. Dia sudah merasa menjadi orang paling zuhud, padahal sesungguhnya dia orang miskin. Ternyata orang miskin bukan pelaku kezuhudan, karena memang tidak mempunyai apa-apa. ( kisah ini disarikan dari kisah hikmah, buku karya Dr.H. Briliantono M. Soenarwo dengan judul " Allah Sang Tabib." )

Oleh karena itu kita hendaknya meresapi dan menjalankan kehidupan dunia ini sebagai sarana menuju ridha'-Nya. Semoga Allah memberikan jalan pada kita semua.

Aunur Rofiq

Sekretaris Majelis Pakar DPP PPP 2020-2025

Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia )

*Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. --Terimakasih (Redaksi)

Simak juga 'Sejarah Isra Mikraj Nabi Muhammad, Perjalanan Spiritual Sang Insan Kamil':






(erd/erd)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork