Boyamin menyatakan pernyataan KPK soal koruptor berpendidikan ini sudah pernah disampaikan oleh pimpinan KPK era sebelumnnya. Atas dasar itulah, dia menekankan KPK saat ini terlalu banyak menyampaikan retorika yang didaur ulang.
"Jadi ini hanya semata-mata menutupi kegagalan kegagalan dengan retorika-retorika yang dihembuskan dan didaur ulang. Karena dulu pimpinan KPK juga pernah, zaman Pak Saut Situmorang atau pimpinan sebelumnya bahwa korupsi dilakukan oleh orang berpendidikan tinggi. Jadi sudah sering ini dan didaur ulang aja. Ini nampak seperti titik kulminasi dari keputusasaan pimpinan KPK kemudian tidak mampu melakukan karya-karya besar, kerja-kerja prestasi, maka ditutupi dengan narasi-narasi, retorika-retorika semata yang sebenarnya hanya daur ulang," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
KPK Risau Mayoritas Koruptor Bergelar S2
Seperti diketahui, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron merisaukan soal 86 persen koruptor itu bergelar sarjana pendidikan tinggi S2. Ghufron menyebut seseorang yang memiliki pendidikan tinggi seharusnya memiliki dedikasi yang juga tinggi.
"Yang paling merisaukan kita adalah 86 persen adalah alumni perguruan tinggi. Jangan risau tentang angka 86 persen, karena apa? Tidak mungkin punya kesempatan untuk korup kecuali pejabat, tidak mungkin jadi pejabat kalau tidak alumni perguruan tinggi, tidak sarjana," kata Ghufron dalam Webinar Pembukaan Rakornas Pendidikan Antikorupsi 2021, Selasa (7/12).
Ghufron menyebut koruptor yang berpendidikan tinggi mencapai 86% dan yang tertinggi adalah S2. Sementara dari 86 persen koruptor, 30 persen berpendidikan S1 dan 10 persen berpendidikan S3.
"Dari 86 persen itu, paling besar S2. Baru S1 sekitar 60 persen, dari 86 persen itu S2, 30 persen S1, 10 persennya S3. Saya tidak akan memperpanjang dan akan mem-blow up tentang 86 persennya. Tetapi apa maknanya? Bahwa ternyata semakin tinggi pendidikan, harapannya bukan hanya cerdas, bukan hanya terampil. Tapi dedikasi karakter integritasnya mestinya juga semakin tinggi," sambungnya.
(maa/jbr)