Ketua LSM Tamperak Kepas Panagean Pangaribuan dan anggotanya, Robinson, ditangkap setelah memeras Kepala Tim Satgas Begal Polsek Menteng. Penangkapan terhadap eksekutor begal yang menewaskan karyawan Basarnas menjadi alat LSM Tamperak untuk memeras polisi.
Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Hengki Haryadi menjelaskan awalnya tersangka Kepas Panagean mendatangi Polsek Menteng dengan mengaku sebagai lawyer begal. Ia berpura-pura meminta tolong agar perkara 'kliennya' dibantu, tetapi justru malah melakukan pemerasan.
"Namun dia datang dengan modus meminta tolong perkara sebagai lawyer-nya, kemudian dicari celahnya untuk dilakukan pemerasan," kata Hengki di Polres Jakpus, Jumat (26/11) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepas dan anggotanya juga mendatangi keluarga tersangka begal. Ia memaksa keluarga tersangka begal membuat testimoni palsu yang kemudian menyudutkan Tim Satgas Begal.
"Kemudian memaksa pihak keluarga tersangka membuat testimoni bahwa telah terjadi suap-menyuap," sambung Hengki.
Atas testimoni dari keluarga tersangka inilah, Kepas kemudian mengancam anggota Polri untuk memberikan uang Rp 2,5 miliar. Kepas mengancam akan memviralkan hal ini apabila permintaannya tidak dipenuhi.
"Kemudian mengancam penyidik untuk memberikan sejumlah uang. Apabila tidak dipenuhi, akan diviralkan dan kemudian dilaporkan kepada petinggi negara maupun instansi baik sipil maupun TNI-Polri," jelas Hengki.
Simak di halaman selanjutnya: hasil pemeriksaan Propam....
Simak Video: Detik-detik Ketua LSM Tamperak Ditangkap, Sempat Ogah Diborgol
Penyidikan Tersangka Begal Sesuai SOP
Atas hal ini, Kepala Tim Satgas Begal Polsek Menteng diperiksa Propam. Hasil pemeriksaan Propam menyatakan tidak ada pelanggaran SOP yang dilakukan oleh Kepala Satgas Begal Polsek Menteng ini.
"Hasil pemeriksaan Propam bahwa tidak ada suap-menyuap. Anggota melaksanakan penyidikan sesuai prosedur," tegas Hengki.
Hasil pemeriksaan Propam pula diketahui anggota tersebut mentransfer ke LSM Tamperak dengan menggunakan uang istrinya.
"Hasil pemeriksaan Propam ternyata Rp 50 juta yang bersangkutan meminjam modal usaha istrinya yang bekerja sebagai WO (wedding organizer)," imbuh Hengki.
Kemudian, Hengki menjelaskan alasan mengapa anggotanya itu takut akan ancaman pelaku. Meski tidak melakukan pelanggaran, anggota itu khawatir jika pelaku memviralkan, maka opini publik akan tergiring dan menganggap hal ini adalah kebenaran, padahal tidak.
"Loh kok kenapa bisa takut? Yang bersangkutan menyatakan bahwa saat ini daerah post truth ini terkadang fakta dikalahkan oleh opini publik. Jadi sebenarnya kejadian tidak seperti itu, kemudian diviralkan, sehingga sudah dihakimi oleh media sosial, dihakimi oleh media-media yang lain. Padahal tidak seperti itu kasusnya," jelasnya.