Saldi mencecar logika 'salah ketik bisa dimaafkan'.
"Bisa nggak kami diberikan batasan soal clerical error? Jadi kesalahan-kesalahan kecil itu. Bagaimana kalau perbaikan itu mengubah makna. Salah satu hukum secara tekstual, salah meletakkan koma saja, bisa mengubah makna. Apakah perubahan-perubahan kecil seperti itu masih dikategorikan clerical error," kata hakim konstitusi Saldi Isra.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimana kalau dilakukan perubahan frasa yang konsekuensinya sangat serius. Soal 'diatur dengan' atau 'dengan' segala macamnya itu. Apakah itu bisa dikategorikan clerical error juga?" sambung Saldi Isra.
Suhartoyo juga mempermasalahkan kesiapan pemerintah dalam membentuk UU Cipta Kerja. Sebab, tidak dikenal model omnibus law di Indonesia.
"Soal kesiapan infrastruktur UU Cipta Kerja dan bagaimana membedah ekstensifikasi. Saya tahu ekstensifikasi itu kalau di pertanian sana. Nah, apakah itu kemudian sebenarnya Anda ingin menjawab bahwa UU 12/2020 belum siap? Untuk mengakomodir berkaitan dengan pembentukan UU yang berjenis omnibus law?" kata Suhartoyo.
"Kalau amanat Pasal 22A benar, pembentukan UU diatur dengan UU, bukan dalam UU. Apalagi dalam spesies pembentukan, ini sebenarnya perubahan, pembentukan, pencabutan dan sebagainya. Tapi Pak Ahmad Redi tidak dalam wilayah itu menjelaskan. Nah, apakah ini sebenarnya ada kegamangan dalam menyiapkan dalam perspektif ini? Jangan kemudian Pak Ahmad Redi melipir-melipir dicarikan yang seolah ada wadahnya, pakai akrobat positiflah. Kemudian pakai ekstensifikasi. Itu yang harus dijelaskan di forum persidangan ini," sambung Suhartoyo
Belakangan salah ketik diputuskan MK tidak diperbolehkan dan menjadi salah satu alasan UU Cipta Kerja untuk diperbaiki.
Dalam sidang lain, hakim konstitusi Saldi Isra mengajukan pertanyaan menukik ke Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (FH Unnes), Rodiyah. Selaku dekan dan akademisi, Rodiyah hadir dalam FGD RUU omnibus law di Solo pada 26 Januari 2020.
![]() |