Pasca Proklamasi, hukum pertanahan Belanda tetap diakui hingga muncul peraturan pertanahan terbaru. Salah satunya bukti kepemilikan tanah eigendom verponding. Bagaimana agar mengubahnya menjadi Sertipikat Hak Milik (SHM)?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate yang dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com Berikut pertanyaan lengkapnya:
Dear detik's Advocate
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terimakasih telah memberikan ulasan hukum dengan padat dan jelas setiap hari. Semoga rubrik ini dipertahankan karena mencerahkan.
Saya ada masalah terkait tanah. Saya memiliki warisan tanah keluarga dengan alas hukum eigendom verbonding. Apakah bisa diubah menjadi SHM?
Terimakasih
Ali
Semarang
Jawaban:
Sebelumnya, terima kasih Bapak Ali atas harapannya kepada detik's Advocate.
Dalam buku 'Kamus Hukum' terbitan Indonesia Legal Center Publishing, eigendom berarti hak milik mutlak. Sedangkan, verponding artinya sebagai harta tetap.
Istilah verponding dalam UU No. 72 Tahun 1958 tentang Pajak Verponding Untuk Tahun-Tahun 1957 dan Berikutnya, digunakan untuk menyebut salah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap benda-benda tetap (tanah).
Menurut Mahkamah Agung dalam Putusan No. 34 K/TUN/2007 istilah eigendom verponding digunakan untuk menunjuk suatu hak milik terhadap suatu tanah. Pengaturan eigendom sendiri berada di Pasal 570 KUHPerdata dan telah dinyatakan dicabut oleh UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Pada Tahun 1960, lahir UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturam Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UU ini menjadi induk payung hukum pertanahan. Dalam Pasal I ayat (1) Bagian Kedua UUPA mengatur tentang konversi hak atas tanah eigendom menjadi hak milik. Namun UUPA tidak mengatur mengenai definisi konversi hak atas tanah.
Dalam regulasi itu, telah diberikan kesempatan selama 20 tahun (sampai tahun 1980) untuk dilakukan konversi tanah-tanah hak barat menjadi tanah hak Indonesia. Meski sudah lewat 20 tahun, tetapo proses itu belum bisa sepenuhnya dilakukan.
Jika belum dilakukan, maka tanah-tanah hak lain yang tidak bisa dibuktikan haknya, dengan teori domein verklaring, menjadi tanah negara.
Tanah eigendom ada dua jenis yaitu eigendom verponding dan eigendom biasa. Untuk itu, harus dipastikan jenis eigendomnya yang mana. Proses perubahan dari eigendom menjadi SHM dilakukan melalui konversi atau penyesuaian hak atas tanah yang tunduk pada aturan hukum sebelum adanya UU Pokok Agraria.
Namun, ternyata memang sampai saat ini masih ada tanah-tanah berstatus eigendom yang belum dikonversi.
Lihat juga video 'Warga Bojong Koneng Duduki Kembali Lahan yang Disegel Sentul City':
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Pada 1997 lahir PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997). Sebelum PP itu, proses konversi hak atas tanah yang berasal dari hak-hak barat (termasuk eigendom) dapat langsung dilakukan konversinya sepanjang pemohonnya masih tetap sebagai pemegang hak atas tanah dalam bukti-bukti lama tersebut atau belum beralih ke atas nama orang lain, serta ada peta/surat ukurnya, maka pembukuannya cukup dilakukan dengan memberi tanda cap/stampel pada alat bukti tersebut dengan menuliskan jenis hak dan nomor hak yang dikonversi.
Sedangkan menurut Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997 mengatur bahwa:
Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau, pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
Dari pengaturan PP 24/1997 tersebut, maka jelas sampai saat ini konversi tanah eigendom masih dapat dilakukan melalui pendaftaran hak-hak lama, sehingga statusnya berubah menjadi hak milik.
Proses konversi diikuti dengan pensertipikatan tanah yang memakan waktu antara 6 bulan sampai 1 tahun. Namun jangka waktu tersebut relatif sekali, tergantung dari kantor pertanahan setempat.
Untuk biaya dapat menghubungi kantor pertanahan setempat, karena masing-masingkantor memiliki aturan biaya yang berbeda, atau dapat menghubungi kantor PPAT terdekat.
Terima kasih
Semoga jawaban di atas bisa membantu
Tim pengasuh detik's Advocate
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.