Jaksa penuntut umum (JPU) mencecar pihak Jasa Marga soal rest area Km 50 dalam sidang lanjutan dugaan tindak pidana pembunuhan (unlawful killing) terhadap empat anggota eks laskar FPI. Jaksa mempertanyakan alasan rest area Km 50 dibongkar.
Awalnya salah seorang JPU mempertanyakan soal asal-usul keberadaan rest area Km 50. Jaksa juga mempertanyakan fasilitas yang ada di sana.
"Rest area Km 50 itu apakah yang disediakan Jasa Marga atau memang rest area ujug-ujug ada di situ?" tanya jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Selasa (16/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setahu saya 2018 sudah ada," kata Kepala Divisi Wilayah Metropolitan Tollroad (JMT) Jasa Marga Ari Wibowo yang dihadirkan JPU selaku saksi.
"Itu fasilitas yang disediakan Jasa Marga?" tanya jaksa lagi.
"Jasa Marga," jawab Ari.
"Sekarang pertanyaan saya, itu kalau bapak melakukan aktivitas di sekitar situ, sedangkan bapak yang itu pasti pernah melihat lokasi tersebut, itu kira-kira rest area itu masih ada atau tidak?" ujar Jaksa.
"Kalau saat ini sudah tidak ada," jawab Ari.
"Kenapa tidak ada?" tanya Jaksa lagi.
"Kalau saya melintas, memang sudah tidak ada," kata Ari.
"Berarti sekarang rest area itu sekarang tidak ada dan boleh dibilang sama sekali nggak ada? Tapi ada yang dibongkar?" tanya jaksa.
Pertanyaan jaksa itu kemudian dijawab oleh Direktur Operasi PT Jasa Marga Tollrod Operator Yoga Tri Anggoro yang juga dihadirkan JPU sebagai saksi. Yoga mengatakan pembongkaran rest area Km 50 dilakukan agar memperlancar lalu lintas di sana.
"Menambahkan Pak, saya tahu terkait yang bongkar karena memang terkait kelancaran lalu lintas," kata Yoga.
Baca juga: Penembakan di Boston, Tiga Polisi Terluka |
Yoga menjelaskan pembongkaran rest area Km 50 merupakan program lama. Pihak PUPR kata Yoga juga merekomendasikan rest area dibongkar agar tidak terjadi kepadatan kendaraan.
"Jadi memang program sudah lama dan itu tadi seperti diceritakan Pak Aris bahwa ini dibongkar. Alasan pembongkarannya adalah terkait kelancaran lalu lintas. Seperti kita ketahui bersama ini sudah kita ini dengan tim PUPR... memang direkomendasikan pembongkaran ini," ujarnya.
Simak halaman selanjutnya
Yoga mengatakan setiap hari selalu terjadi penumpukan arus lalu lintas kendaraan di sana. Penumpukan muncul, baik dari atas tol layang maupun dari tol bawah.
"Karena saya sebagai penanggung jawab terkait, termasuk pengoperasian maupun kelancaran ya, jadi di Km 48 itu pertemuan dari Jakarta-Cikampek atas dan Jakarta-Cikampek bawah, itu setiap hari selalu menumpuk," ucapnya.
Yoga menyampaikan pihaknya juga sudah melakukan berbagai upaya agar tidak terjadi kepadatan lalu lintas. Salah satunya dengan melakukan pelebaran badan jalan tol mulai dari Km 48 sampai 49.
"Nah beberapa upaya sudah dilakukan, yaitu dengan bentuk pelebaran dari Km 48 ke 49. Rest area 50 ini memang dilihat ini akan menyebabkan Japek naik dari sumber kepadatan, karena banyaknya pengguna jalan yang akan menggunakan rest area, berhenti di rest area. Sehingga setahu saya Pak, ada program untuk melakukan pelancaran di Km tersebut," jelasnya.
"Artinya dibongkar. Itu kira-kira bulan berapa, di tahun berapa?" tanya Jaksa.
"Saya nggak tahu Pak," kata Yoga.
"Kan itu masuk dari lingkup pekerjaan Jasa Marga?" timpal Jaksa.
"Kalau itu bukan. Karena... operator hanya diberikan tugas wewenang dari Jasa Marga tapi pembongkaran memang ada di Jasa Marga tapi saya lupa kapan tanggal tepatnya pembongkaran itu," tutur Yoga.
"Saya tanya ke Pak Aris sama Pak Budi, itu rest area Km 50 itu setelah kejadian apa itu sudah masuk program yang harus dibongkar atau setelah kejadian dibongkar?" tanya jaksa.
"Setahu saya memang sebelum, itu sudah ada program untuk pembongkaran seperti yang disampaikan Pak Yoga. Karena saat itu ada pertemuan dari atas dan dari bawah sehingga itu menghambat lalu lintas. Jadi pada saat pertemuan itu banyak kendaraan yang di rest area," jawab Aris
Kasus bermula saat Ipda Yusmin, Briptu Fikri, dan Ipda Elwira bersama 4 polisi lain diperintahkan memantau pergerakan Habib Rizieq Shihab. Sebab, saat itu Habib Rizieq tidak hadir memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya terkait kasus pelanggaran protokol kesehatan.
Di sisi lain, polisi menerima informasi tentang simpatisan Habib Rizieq akan mengepung Polda Metro Jaya pada Senin, 7 Desember 2020, di mana seharusnya Habib Rizieq memenuhi panggilan Polda Metro Jaya. Ketujuh polisi itu lalu melakukan pemantauan di Perumahan The Nature Mutiara Sentul, Bogor, tempat Habib Rizieq berada.
Namun saat itu dari perumahan tersebut muncul 10 mobil yang diduga rombongan Habib Rizieq. Ketujuh polisi itu mengikuti menggunakan 3 mobil.
Dalam perjalanan, salah satu mobil polisi dicegat dan diserempet mobil yang diduga berisi para laskar FPI. Para laskar FPI itu disebut jaksa sempat menyerang mobil polisi menggunakan pedang.
"Selanjutnya, laki-laki yang menggunakan jaket warna biru membawa pedang gagang warna biru atau samurai melakukan penyerangan ke mobil dengan cara mengayunkan pedang gagang warna biru tersebut dan membacok kap mesin mobil kemudian melanjutkan amarahnya dengan menghunjamkan pedangnya sekali lagi ke arah kaca depan mobil secara membabi buta," ucap jaksa.
Polisi sempat memberikan tembakan peringatan, tetapi anggota laskar FPI balik menodongkan senjata. Setelah itu, terjadi aksi kejar-kejaran, di mana saat itu anggota laskar FPI kembali menodongkan senjata. Polisi pun membalas dengan menembak ke arah mobil para anggota laskar FPI itu.
"Ipda Mohammad Yusmin Ohorella melakukan penembakan beberapa kali yang diikuti oleh Briptu Fikri melakukan penembakan ke arah penumpang yang berada di atas mobil anggota FPI dengan jarak penembakan yang sangat dekat kurang-lebih 1 meter," ujar jaksa.
Singkat cerita, kejar-kejaran itu berakhir di rest area Km 50. Saat diperiksa polisi, ada 2 orang yang sudah tewas di dalam mobil anggota FPI itu, sisanya 4 orang masih hidup.
Polisi lalu membawa 4 orang yang masih hidup itu tetapi tidak diborgol yang disebut jaksa tidak sesuai standard operating procedure (SOP). Keempat anggota FPI itu lalu disebut menyerang dan berupaya mengambil senjata polisi.
Briptu Fikri dan Ipda Elwira pun menembak mati 4 anggota FPI itu di dalam mobil. Akibat perbuatannya, para terdakwa itu dikenai Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.