Luhut Binsar Pandjaitan meminta KPK mengusut praktik-praktik yang terindikasi korupsi di pelabuhan. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) itu menaruh harapan agar KPK tidak segan memenjarakan para mafia yang bermain.
Awalnya Luhut mengaku melihat hasil pengawasan di sejumlah pelabuhan yang birokrasinya tidak sesuai. Luhut pun membeberkan orang-orang yang mengacau di pelabuhan sudah seharusnya ditindak.
"Berdasarkan hasil monitoring di lapangan, nilai ini masih belum mendapat perhatian karena belum direalisasikan sesuai dengan best practice benchmarks, misalnya digitalisasinya belum mencapai level seperti Tanjung Priok," kata Luhut, Kamis (11/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu disampaikan Luhut dalam webinar Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) dengan tema 'Memangkas Waktu dan Biaya di Pelabuhan'. Ketua KPK Firli Bahuri turut mengikuti webinar itu.
Baca juga: Luhut Minta KPK Penjarakan Mafia Pelabuhan! |
"Saya mohon KPK dengan kejaksaan, polisi, ayo kita ramai-ramai bentuk task force untuk memonitor ini. Ini saya kira bagus dipenjarakan. Sudah jelas orang begini masih macam-macam. Saya sudah bilang, Pak Pahala, ayo, kita bawa orang ini, sudah jelas merusak sistem kita. Diganti atau dipenjarakan," tambahnya.
Pahala yang dimaksud Luhut adalah Pahala Nainggolan, yang menjabat Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK. Luhut meminta agar pelabuhan di Indonesia lebih hebat lagi.
"(Sebanyak) 80 persen merupakan cargo transhipment dari negara lain. Sebaliknya, pelabuhan kurang produktif dan efisien dapat jadi kelemahan suatu negara," katanya.
"Sebagai ilustrasi dampak secara makro, pebisnis dan investor tentunya mempertimbangkan biaya logistik dalam menjalankan bisnis dan investasi. Dengan biaya logistik tinggi, berkuranglah minat pebisnis berinvestasi dan berkuranglah lapangan kerja dan daya beli masyarakat makin rendah," sambungnya.
Luhut Bandingkan Pelabuhan RI dengan Negara Lain
Selain itu, Luhut berbicara mengenai biaya logistik pelabuhan di Indonesia yang masih tinggi. Luhut membandingkan dengan Abu Dhabi hingga Malaysia, yang bisa memiliki biaya logistik yang lebih rendah.
"Saya ingin berbagai biaya yang turut berkontribusi terhadap biaya logistik nasional sampai pada 23 persen. Kenapa negara tetangga kita bisa murah sampai 12 persen? Oleh karena itu, kita targetkan turun ke 17 persen dan PDB (produk domestik bruto) 2024 sebagaimana tercantum dalam Perpres 18/2020," kata Luhut.
"Kenapa Abu Dhabi, Singapura, Malaysia bisa? Kenapa kita nggak? Pertanyaan ini perlu datang. Apa bangsa ini mau jadi pecundang terus? Saya kira tidak, kita bangsa besar. Kita buktikan kemarin bisa menangani kasus besar dan jadi perhatian dunia," imbuhnya.
KPK Beberkan Potensi Kebocoran di Pelabuhan
Di sisi lain Firli selaku Ketua KPK menyebut ada 4 sektor di pelabuhan yang berpotensi bocor sehingga menyebabkan keran korupsi lancar mengalir. Apa saja 4 potensi kebocoran itu?
"Yang pertama adalah ditemukannya otoritas pelabuhan yang tidak menggunakan sistem aplikasi," ucap Firli.
Sistem yang dimaksud adalah Inaportnet, yang fungsinya mengintegrasikan sistem informasi kepelabuhanan yang standar dalam melayani kapal dan barang secara fisik dari seluruh instansi dan pemangku kepentingan. Aturan mengenai Inaportnet tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 157 Tahun 2015 tentang Penerapan Inaportnet untuk Pelayanan Kapal dan Barang di Pelabuhan.
"Inaportnet dalam pemberian pelayanan, monitoring, dan evaluasi, serta belum terintegrasinya dengan layanan badan usaha pelabuhan. Hal ini tentu mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara," kata Firli.
Kebocoran potensi korupsi yang kedua disebut Firli mengenai layanan jasa pelabuhan yang tidak direkam dalam sistem. Menurut Firli, praktik seperti ini rawan memunculkan niat-niat pihak tidak bertanggung jawab untuk 'bermain mata'.
"Dengan kata lain, masih dilakukan secara manual dan tentu juga tidak sesuai dengan apa yang harus dibayarkan oleh pengguna jasa dan inilah kerawanan terjadinya praktik-praktik korupsi," ujar Firli.
"Yang ketiga masih ditemukannya ketidaksesuaian, kebutuhan, kualifikasi kelembagaan dan proses implementasi kerja pada proses bongkar muat di pelabuhan. Hal ini tidak hanya merugikan pengguna jasa, tetapi juga merugikan tenaga kerja bongkar-muat itu sendiri sebagai akibat dari panjangnya birokrasi dalam pemberian layanan bongkar-muat," imbuh Firli mengenai potensi ketiga kebocoran potensi korupsi.
Untuk yang keempat atau yang terakhir disebut Firli soal sumber daya manusia (SDM) yang terbatas. Firli pun meminta agar persoalan ini harus segera diatasi.
"Yang keempat kita juga masih bisa menemukan layanan jasa pelabuhan yang belum terintegrasi satu sama lain, seperti layanan karantina dan belum tersedianya berbagai akibat dari keterbatasan sumber daya manusia," ujarnya.