Pakar hukum pidana Prof Hibnu Nugroho mendukung Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi karena untuk mencegah kekerasan seksual. Namun tantangannya adalah di pembuktian, yang dinilai tidak mudah.
"Spiritnya baik, mencegah kekerasan seksual. Tantangannya di pembuktian. Perlu bantuan ilmu-ilmu forensik, terutama language dan gesture forensic," kata Hibnu saat berbincang dengan detikcom, Kamis (11/11/2021).
Salah satu aturan di Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 mengatur soal tatapan nuansa seksual. Pasal 5 ayat 2 huruf d yang berbunyi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman."
Oleh sebab itu, language dan gesture forensic diperlukan untuk membuktikan apakah sebuah kalimat bermakna seksis atau tidak. Apakah tatapan seseorang bernuansa tatapan cabul atau tatapan persahabatan.
"Ini tafsirnya bisa luas, apalagi bagi orang baperan," ujar Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, itu.
Selain itu, perbedaan kultur dan budaya yang beragam di Indonesia juga bisa menambah rumit penafsiran. Bisa jadi di satu daerah dianggap bercanda untuk mencairkan suasana, tapi di daerah lain sudah dianggap sebagai ucapan seksis.
"Ini tafsir pembuktian, agak kesulitan di sana. Bahasa-bahasa di Permen terlalu lentur, pasal karet. Sulit untuk dibuktikan," papar Hibnu.
Dalam pembuktiannya, tetap berlaku asas 'unus testis nullus testis', yaitu satu saksi bukan saksi. Maka perlu ditambahkan alat bukti lain, misalnya ahli dan petunjuk lain.
"Harus dengan negatief wettelijk. Sebab, ini masuk perkara biasa, bukan perkara cepat atau singkat, sehingga dua alat bukti harus menimbulkan keyakinan adanya suatu kejahatan," beber Hibnu.
(asp/nvc)