Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar aksi teatrikal mengkritisi pencabutan PP Nomor 9 Tahun 2021 atau yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor oleh Mahkamah Agung (MA). ICW menilai MA tidak memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi karena telah mencabut PP tersebut.
Aksi berlangsung di depan gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (8/11/2021) pukul 14.50 WIB. Ada tujuh orang yang mengikuti aksi teatrikal dengan membawa poster bertuliskan isi kritik.
Aksi diawali dengan penyampaian orasi oleh Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW, Wana Alamsyah. Setelah itu, salah seorang massa aksi berkostum layaknya hakim menyerahkan satu buah kotak merah bertulisan 'Hadiah untuk koruptor pembatalan PP 99/2012' ke massa aksi yang mengenakan rompi orange layaknya napi koruptor.
"ICW mencatat bahwa dan ICW mengkritisi terkait dengan adanya putusan MA tersebut, sebab kami menilai bahwa dengan dikabulkannya PP 99/2012 ini, itu menunjukkan bahwa MA tidak memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi, sebab jika dilihat ada beberapa hal yang menjadi kelemahan atau menjadi masalah terkait dengan putusan tersebut," kata Alamsyah saat orasi.
![]() |
ICW menilai tiga hal yang mendasari MA mencabut putusan tersebut tidak masuk akal. Dari alasan overcrowded lapas, tindak pidana korupsi bukan kejahatan luar biasa, hingga penilaian diskriminatif terhadap sesama narapidana.
"Kami menilai bahwa alasan yang disampaikan oleh MA terkait putusannya menurut kami tidak masuk akal. Pertama, salah satu alasan yang diajukan adalah mengenai overcrowded lapas. Jika dilihat dari data yang disajikan dari dalam Dirjenpas per Agustus 2021 menunjukkan bahwa dari 100 persen terdakwa atau terpidana yang masuk ke dalam penjara, itu hanya 4 persen. Sehingga argumentasi mengenai overcrowded ini, itu tidak masuk akal," ujarnya.
Alamsyah mengatakan dicabutnya PP tersebut dapat mempermudah napi koruptor mendapatkan remisi karena syarat yang diberikan minim. Hal itu, kata Alamsyah, menunjukkan tindak pidana korupsi bukan merupakan tindakan kejahatan yang luar biasa atau extraordinary.
"Kalau kita cermati bahwa ada dua syarat yang harus dilalui atau harus ditempuh oleh terpidana korupsi untuk mendapatkan remisi. Pertama, dia harus menjadi justice collaborator; kedua, terpidana korupsi harus menyelesaikan atau membayar lunas seluruh kerugian negara beserta juga dendanya. Namun dengan putusan ini, syarat tersebut diperingan. Artinya, setiap koruptor yang nantinya akan mendapatkan remisi atau mengajukan remisi ini akan dipermudah. Sehingga tindak pidana korupsi bukan menjadi salah satu tindak pidana yang extraordinary lagi. Padahal korupsi menyebabkan kemiskinan dan hal lainnya," tuturnya.