Beberapa waktu lalu ada seorang jenderal yang melontarkan kritik terbuka ke institusi kepolisian meskipun dengan dalih membela dan melindungi rakyat kecil. Apa saran Bapak agar hal semacam ini tidak terulang?
Selama ini sinergi TNI dan Polri sudah terjalin dan terbangun dengan sangat baik. Satuan-satuan TNΓ dan Polri, prajurit TNI dan anggota Polri bahu membahu dan bekerja sama melaksanakan berbagai tugas. Bahkan saat ini bersama-sama dengan berbagai komponen bangsa, TNI dan Polri terlibat dalam setiap program penanganan pandemi dengan sangat intensif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kritik memang bukanlah hal yang tabu. Kritik haruslah merupakan upaya untuk membangun dan memberikan masukan dengan baik. Selama ini saya yakin para pejabat TNI dan Polri sudah sering berkomunikasi, berkoordinasi dan berkolaborasi dalam menghadapi berbagai permasalahan dan dalam bentuk berbagai penugasan. Di daerah sebetulnya komunikasi dan koordinasinya sangat erat.
Saya yakin pula selama itu tentu ada masukan-masukan yang diberikan, baik dari pejabat TNI kepada pejabat Polri maupun sebaliknya. Selama ini saya juga berkomunikasi dan berkoordinasi dengan baik dengan Bapak Kapolri, mulai dari Pak Tito, Pak Idham, sampai dengan Pak Sigit saat ini.
Komunisme dan radikalisme masih menjadi isu hangat di masyarakat kita. Bagaimana Bapak mengantisipasi dan menetralisir isu ini di lingkungan keluarga besar TNI?
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, tentunya Indonesia tidak dapat mengisolasi diri dari perkembangan yang ada, termasuk juga kemajuan teknologi komunikasi dan penggunaan media sosial yang sangat massif. Paham-paham radikal mengambil kesempatan dan kemudahan tersebut. Di sini diperlukan peran aktif para tokoh agama, ulama, dan kyai dalam memenuhi dahaga umat akan siraman rohani di tengah-tengah masyarakat yang semakin keras perjuangan hidupnya.
Untuk itulah TNI memutuskan untuk merekrut perwira-perwira berlatarbelakang pendidikan agama untuk bertugas memberi bimbingan rohani. Hal itu utamanya ditujukan kepada para prajurit, PNS TNI dan keluarganya. Namun bila dibutuhkan para perwira tersebut juga dapat pula membantu masyarakat memberikan pembinaan rohani yang dibutuhkan.
Secara internal, saat proses perekrutan, TNΓ telah berupaya untuk menyaring para calon sebaik mungkin, termasuk dari sisi keterpengaruhan terhadap paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila. Dengan demikian diharapkan para prajurit TNI sejak awal tidak terpengaruh radikalisme. Dalam proses pembinaan selanjutnya, terdapat penilaian dari para Komandan, para atasan, serta pembinaan personel lainnya agar tidak ada personel TNI yang terjerumus kepada ajaran radikal. Proses tersebut berlangsung secara terus menerus, termasuk juga saat pengusulan untuk pendidikan/sekolah, jabatan, dan pangkat. Dengan alur yang sedemikian ketat tersebut diharapkan tidak ada prajurit ataupun PNS TNI yang terpengaruh paham radikal.
Apa agenda Bapak setelah purnabakti. Terjun ke politik, berbisnis, mengajar, atau jalan-jalan bersama anak-cucu...?
Sudah tentu saya ingin menikmati waktu bersama keluarga. Saya memiliki dua orang cucu yang sangat dekat dengan saya. Setelah purnabakti saya akan memiliki lebih banyak waktu, lebih banyak 'me time'-nya. Selama ini dengan kesibukan dan kepadatan kegiatan, tentu saja interaksi saya dengan keluarga, khususnya kedua cucu saya itu, sangat terbatas.
(Dalam perbincangan langsung di ruang kerjanya, Kamis (4/11/2021), Marsekal Hadi menyatakan dirinya sama sekali tidak tertarik terjun ke politik). "Saya mau jadi orang biasa saja. Sejak mulai jadi panglima, jika ditanya akan terjun ke dunia politik, saya menjawab dengan cepat: Tidak. Kenapa? Karena teladan saya adalah Jenderal Besar Sudirman. Beliau tidak berpolitik. Saya juga meneladani Jenderal M. Yusuf, saya mencoba dekat dengan para prajurit. Jadi, setelah pensiun saya mau balik ke Malang, mau kongko dengan teman-teman SMP, SMA. Saya mau makan singkong dan berburu belut bareng mereka ha-ha-ha."
(jat/jat)