Ada Sejarah Batavia dan Gula Terkait Batu di Pinggir Jalan Jakarta

Round-Up

Ada Sejarah Batavia dan Gula Terkait Batu di Pinggir Jalan Jakarta

Tim detikcom - detikNews
Sabtu, 30 Okt 2021 22:02 WIB
Petugas melihat dari dekat batu dari abad ke 17 yang sudah di pindahkan ke Balai Budaya Condet, Jakarta, Jumat (29/10/2021).
Batu penggilingan (Grandyos Zafna/detikcom)
Jakarta -

Ada cerita di balik penemuan batu penggilingan yang diduga peninggalan abad ke-18 di Jakarta Timur. Ternyata batu itu ada hubungannya dengan pengolahan tebu.

Batu bersejarah itu pertama kali ditemukan oleh seorang warga. Batu itu terpendam sebagian di sebuah trotoar Jalan TB Simatupang, Pasar Rebo, Jaktim.

Petugas pemadam kebakaran (Damkar) pun memindahkan batu itu ke Cagar Budaya Condet, Jaktim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Batu itu memiliki bobot 326 kilogram. Batu itu dipindahkan pada Jumat (29/10) kemarin.

Untuk memindahkannya, petugas damkar menggunakan satu unit derek crane. Dibutuhkan proses kurang-lebih dua jam untuk dapat memindahkan batu bersejarah tersebut.

ADVERTISEMENT

Sebelum proses pemindahan, petugas damkar harus benar-benar menggali hingga batu tersebut dapat diangkut dengan aman.

Warga Tak Tahu Batu Itu Bersejarah

Salah satu warga sekitar, Ocit (51), mengaku tidak tahu batu itu salah satu peninggalan sejarah. Bahkan Ocit mengatakan batu itu sering digunakan sebagai tempat duduk sewaktu menunggu angkutan kota (angkot).

Ocit juga mengaku tidak mengetahui asal-usul batu tersebut. Dirinya mengatakan batu tersebut sudah ada di pinggir jalan sejak dia masih kecil.

"Sebelum ada pohonnya juga udah ada batu, nggak tahu juga sih nggak jelas. Tiba-tiba ada di situ. Dari sebelum saya lahir juga udah ada di situ," ucap Ocit.

Warga lainnya, Bodong (53), menuturkan batu tersebut bentuknya mirip sebuah alat penggiling. Dirinya menduga batu tersebut dulunya merupakan alat penggiling tebu.

Bodong menjelaskan batu tersebut mulanya tidak tertimbun setengah bagian, melainkan tampak utuh di pinggir Jalan TB Simatupang. Namun, pada 2017, saat dibangun trotoar, barulah batu tersebut tampak tertimbun setengah bagian.

"Cuma pas ada trotoar ketimbun. Bukan trotoar saja, ada penggalian kabel, timbun-timbun lagi. Trotoar pas zaman Ahok tahun 2017-lah," tutur Bodong.

Batu Diperkirakan Berusia 300 Tahun

Pengurus Bidang Pusat Konservasi dan Restorasi Cagar Budaya Disbud DKI Jakarta, Teguh Mardiuntoro, mengatakan batu itu berusia lebih dari 300 tahun. Batu itu diperkirakan dibuat pada abad ke-17.

"Sepertinya karena baru terdeteksi ya bahwa di situ ada batu yang punya nilai sejarah. Sekitar tahun 2018 baru ada laporan di situ ada batu diduga punya nilai sejarah," ujar Teguh Mardiuntoro saat dihubungi, Jumat (29/10)

Dia mengatakan ada jenis batu serupa yang ditemukan di wilayah Cakung. Seingatnya, 6 atau 7 batu.

"Tapi memang faktanya batu ada di kawasan di pinggir Jalan TB Simatupang. Batu-batu yang lain sejenis dengan itu ada di kawasan Cakung, Penggilingan itu ada 6 atau 7 titik juga. Batu bersejarah juga," papar Teguh.

Teguh menuturkan batu bersejarah tersebut kini diletakkan di Balai Budaya Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur, sebagai termasuk objek cagar budaya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penyelamatan objek bersejarah.

"Ini merupakan upaya pelindungan dan penyelamatan agar objek lebih terlindungi, karena selama ini berada di trotoar jalan yang rentan rusak, baik karena cuaca atau tindakan vandalisme," kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana, Sabtu (30/10).

Sejarah Batu Penggilingan

Batu penggilingan merupakan alat pengolah tebu yang diperkirakan digunakan pada abad ke-17 hingga 18 Masehi. Dalam tulisan Haan (1935: 323-324), terdapat istilah suikermolen, yang berarti pabrik pembuatan gula. Pada abad ke-18, istilah pabrik pembuatan gula ini merujuk pada pabrik gula dengan peralatan tradisional sederhana yang menggunakan batu untuk menggiling tebu.

Pada masa itu, gula menjadi salah satu komoditas penting untuk perdagangan di dunia. Batavia--sebelum disebut Jakarta--adalah salah satu daerah penghasil gula, di mana hasilnya diekspor ke China dan Jepang. Produksi gula di Batavia dilakukan oleh orang-orang China yang bermukim di wilayah Pecinan.

Menyadari produksi gula memberikan keuntungan, VOC akhirnya membuat ketetapan bahwa gula di Batavia wajib dijual kepada VOC, tidak boleh diperjualbelikan kepada pihak lain. Bahkan VOC yang menentukan harga gula.

Tahun 1710 adalah puncak kejayaan produksi gula di Batavia, di mana terdapat 130 pabrik pembuat gula yang dimiliki oleh orang China, dengan sebagian besar berada di sekitar Sungai Ciliwung. Namun, setelahnya, produksi gula mengalami penurunan yang ditandai dengan berkurangnya pabrik gula. Pada 1738, terdapat 80 pabrik gula. Kemudian, di tahun 1750, terdapat 66 pabrik gula. Lalu, pada 1786, hanya terdapat 44 pabrik gula.

Batu penggilingan biasa disebut warga setempat sebagai batu kiser. Setelah menurunnya produksi tebu di Batavia dan keluarnya orang-orang China dari Batavia pada 1740, mereka mulai mendirikan bentengan-bentengan dengan pagar tinggi yang selanjutnya disebut China Benteng. Salah satunya, mulai membuat pabrik penggilingan tebu untuk dijadikan gula pasir di wilayah Cakung.

Asal-usul nama Kampung Penggilingan juga berasal dari batu penggilingan tersebut. Dahulunya, nama kampung ini adalah Kampung Cakung yang terkenal dengan sebutan Kampung Gula.

"Kami sangat berterima kasih atas bantuan dan kerja sama Sudin Bina Marga Jakarta Timur, Sudin Penanggulangan Kebakaran Jakarta Timur, Kelurahan Gedong, dan pihak-pihak terkait, sehingga proses evakuasi dapat berjalan lancar," jelasnya.

Halaman 2 dari 3
(zap/rfs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads