Dengan dicabutnya pasal di atas oleh MA, pemberian remisi sesuai PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan juncto PP Nomor 28 Tahun 2006, dengan tidak memandang jenis kejahatan yang dilakukan. Berikut syarat pemberian remisi bagi semua napi:
1. berbuat jasa kepada negara;
2. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau
3. melakukan perbuatan yang membantu kegiatan lapas.
4. Ketentuan untuk mendapatkan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi narapidana dan anak pidana yang menunggu grasi sambil menjalani pidana.
Adapun untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, juga disamakan tanpa melihat latar belakang kejahatan si narapidana. Hal itu tertuang dalam Pasal 43 , yaitu:
1. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
2. Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi Narapidana dan Anak Pidana setelah menjalani pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
3. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana.
4. Pembebasan bersyarat bagi Anak Negara diberikan setelah menjalani pembinaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
Alasan Majelis Cabut PP Pengetatan Remisi Koruptor
Dalam pertimbangannya, majelis judicial review menyatakan narapidana bukan hanya objek, tapi juga subjek, yang tidak berbeda dengan manusia lainnya, yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan yang dapat dikenai pidana sehingga tidak harus diberantas. Namun yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.
"Bahwa, berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, rumusan norma yang terdapat di dalam peraturan pelaksanaan UU No 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice," kata jubir MA Hakim agung, Andi Samsan Nganro, kepada detikcom, Jumat (29/10/2021).
Majelis menilai sejatinya hak mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.
"Persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta harus mempertimbangkan dampak overcrowded di lapas," tutur majelis.
Syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk (reward) berupa pemberian hak remisi tambahan di luar hak hukum yang telah diberikan. Sebab, segala fakta hukum yang terjadi di persidangan. Termasuk terdakwa yang tidak mau jujur mengakui perbuatannya serta keterlibatan pihak lain dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang memberatkan hukuman pidana. Sampai titik tersebut persidangan telah berakhir dan selanjutnya menjadi kewenangan lapas.
"Kewenangan memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain, apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan pembinaan warga binaan," beber Andi menuturkan pertimbangan majelis.
Lapas dalam memberikan penilaian terhadap setiap narapidana untuk dapat diberi remisi harus dimulai sejak yang bersangkutan menyandang status warga binaan dan bukan masih dikaitkan dengan hal-hal lain sebelumnya.
"Diberikannya remisi kepada warga binaan dengan syarat warga binaan tersebut telah melakukan pengembalian kerugian uang negara terlebih dahulu dan warga binaan tersebut bukanlah residivis dari perkara korupsi," jelasnya.
Berikut ini Pasal yang dibatalkan MA soal PP Pengetatan Remisi Koruptor:
Berikut bunyi Pasal 34 A ayat (1) huruf (a):
Pemberian remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a.bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b.telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi;
Pasal 34A ayat (3):
Kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43 A ayat (1) huruf (a):
(1) Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan (a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
Pasal 43A ayat (3):
Kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh MA, permohonan di atas dikabulkan sehingga pasal yang diuji dibatalkan.
"Bahwa berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, maka rumusan norma yang terdapat di dalam peraturan pelaksanaan UU No 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice," beber Andi yang juga Wakil Ketua MA bidang Yudisial itu.
Pencabutan PP Pengetatan Remisi Koruptor itu mendapat tanggapan dari Ditjen PAS Kemenkum HAM dan KPK.
Selanjutnya di halaman berikutnya.
PP Pengetatan Remisi Koruptor Masih Jadi Rujukan Ditjen PAS
Mahkamah Agung (MA) mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor. Ditjen PAS mengatakan sampai saat ini masih menggunakan PP Nomor 99 Tahun 2012 dalam memberikan remisi kepada koruptor.
"Jadi semuanya memang pemberian hak itu berdasarkan peraturan. Kita lihat kelanjutannya ya, apakah ada perubahan dari PP ini. Tapi yang pasti, kami sampai saat ini masih memberikan remisi berdasarkan PP 99 Tahun 2012 untuk kasus korupsi," kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS Kemenkumham Rika Aprianti kepada detikcom, Jumat (29/10/2021).
Rika mengatakan pihaknya tentu akan tetap memberikan remisi sesuai peraturan hukum yang berlaku, karena merupakan hak para narapidana. Dia menyebut pencabutan PP itu masih dilakukan pemantauan.
Rika mengatakan pihaknya tentu akan tetap memberikan remisi sesuai peraturan hukum yang berlaku, karena merupakan hak para narapidana. Dia menyebut pencabutan PP itu masih dilakukan pemantauan.
Selanjutnya, Rika menjelaskan bahwa Ditjen PAS tidak memiliki wewenang dalam urusan PP tersebut. Pihaknya hanya bergantung kepada pengadilan dan menjalankan tugas sebagaimana fungsinya.
"Kalau masalah penjeraan atau apa, kalau kami ini kan tugasnya kalau permasyarakatan kan tugasnya melakukan pembinaan, bukan memberikan pidana dua kali. Adapun hukuman atau pidana dari tindakan hukum korupsi yang dilakukan oleh narapidana korupsi kan sudah dilakukan oleh pengadilan, pengadilan yang sudah memutuskan kan hukumannya apa dan selanjutnya kami melaksanakan apa yang sudah diputuskan oleh pengadilan," katanya.
"Artinya besar atau kecilnya, besar atau besarnya lagi, pidana untuk kasus korupsi kan sudah kewenangan dari pengadilan. Kami kan ranahnya adalah melakukan pembinaan, bagaimana filosofi dari permasyarakatan, sebagai persiapan mengembalikan lagi narapidana kembali ke masyarakat," sambungnya.
KPK Minta Pemberian Remisi Koruptor Pertimbangkan Keadilan
KPK angkat bicara soal pencabutan dan pembatalan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor oleh Mahkamah Agung (MA). KPK berharap pemberian, remisi khususnya kepada koruptor, tetap harus dipertimbangkan dengan rasa keadilan.
"Maka dari itu, kami berharap pemberian remisi bagi para pelaku extraordinary crime, tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dan masukan dari aparat penegak hukumnya," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Jumat (29/10/2021).
Hal itu disebabkan, kata Ali, menangkap para koruptor merupakan sebuah ikhtiar seluruh elemen. Namun, KPK tetap menghormati putusan tersebut.
"Karena keberhasilan pemberantasan korupsi butuh komitmen dan ikhtiar kita bersama, seluruh pemangku kepentingan. Baik pemerintah, para pembuat kebijakan, lembaga peradilan, aparat penegak hukum, dan seluruh elemen masyarakat," kata Ali.
"KPK menghormati putusan judicial review majelis hakim MA yang mencabut dan membatalkan PP pengetatan remisi bagi narapidana extraordinary crime, salah satunya kejahatan korupsi," tambahnya.
Selanjutnya, KPK, kata Ali, sadar bahwa pembinaan narapidana korupsi merupakan wewenang Ditjen Pemasyarakatan. Tetapi, dia menekankan bahwa pelaku korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan memberikan dampak negatif yang luas. Maka itu, koruptor harus diberi efek jera.
"Kami juga memahami bahwa pembinaan terhadap narapidana korupsi sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan kewenangan Ditjen Pemasyarakatan," ujarnya.
"Meski demikian, korupsi sebagai kejahatan yang memberikan dampak buruk luas, seyogianya penegakan hukumnya selain memberi rasa keadilan bagi pelaku maupun masyarakat, juga penting tetap mempertimbangkan efek jera yang ditimbulkan dari hukuman tersebut. Tujuannya agar mencegah perbuatan ini kembali terulang," tambahnya.