Wewenang KY Seleksi Hakim Ad Hoc Kasasi Dinilai Sudah Tepat, Ini Alasannya

Wewenang KY Seleksi Hakim Ad Hoc Kasasi Dinilai Sudah Tepat, Ini Alasannya

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 13 Okt 2021 17:07 WIB
Gedung Komisi Yudisial (KY)
Gedung KY (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Seorang dosen, Burhanuddin, menggugat UU Komisi Yudisial (KY) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan KY tidak berwenang menyeleksi hakim ad hoc tingkat kasasi/PK. Burhanuddin pernah punya catatan ikut seleksi tersebut di KY dan tidak lulus.

"Sekilas perkara ini kelihatan masalah kerugian hak konstitusional perseorangan, tetapi apabila dicermati, pertaruhannya sangat besar, yakni reformasi pengadilan. Itulah yang mendorong Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) sebagai organisasi pemerhati hukum dan bagian dari masyarakat ikut mencermati perkembangan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara tersebut," kata Ketua AFHI, Widodo Dwi Putro, kepada wartawan, Rabu (13/10/2021).

Permohonan itu diajukan peserta tes hakim ad hoc kasasi/PK yang tidak lulus, Burhanudin. Ia meminta MK menyatakan bahwa seleksi hakim ad hoc oleh KY sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 huruf a UU KY yang dilaksanakan oleh KY, menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, adalah inkonstitusional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"AFHI melihat bahwa seleksi calon hakim agung oleh KY (dengan melibatkan partisipasi masyarakat) merupakan suatu cara menjamin akuntabilitas sehingga proses seleksi tidak hanya dilakukan oleh lembaga peradilan itu sendiri," ujar Widodo.

KY sebagai pemilik kewenangan atributif seleksi hakim agung yang diamanatkan oleh UUD 1945. Sebagai lembaga yang mandiri, keputusan KY untuk menyeleksi hakim agung, termasuk dinilai sebagai pelaksanaan dari kewenangan konstitusionalitas.

ADVERTISEMENT

Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 menyatakan calon hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. Kemudian, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyatakan KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Selain itu, dalam UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA, maupun UU Pengadilan Tipikor, hakim agung dan hakim ad hoc Tipikor di MA mempunyai posisi setara dengan hakim agung lain dalam tugas dan fungsi teknis yudisial, yaitu membentuk majelis, memeriksa dan memutus perkara Tipikor, serta menandatangani dan bertanggung jawab terhadap penetapan atau putusan MA, baik di tingkat kasasi maupun PK yang dibuatnya.

"Artinya, apabila permohonan pemohon dipenuhi, maka hakim ad hoc Tipikor di MA akan diseleksi atau direkrut oleh MA yang diisi dan dipimpin oleh para hakim agung sendiri," tuturnya.

Padahal, secara status dan fungsi, para hakim agung yang mengisi dan memimpin MA ini akan duduk di dalam majelis yang sama dengan hakim ad hoc Tipikor di MA. Dan secara bersama-sama bertanggung jawab atas putusan yang dihasilkan.

"Kita bisa membayangkan betapa 'menggelikan' sekaligus 'mencemaskan' jika terjadi hakim ad hoc Tipikor di MA duduk satu majelis dengan hakim agung yang merekrutnya, bukankah hal ini akan berpengaruh pada psikologi yang berdampak pada independensi dan imparsialitas dari hakim ad hoc yang direkrutnya sendiri?" tuturnya.

Alhasil, judicial review itu bukan semata-mata masalah kerugian perseorangan Burhanudin, melainkan pertaruhan negara konstitusi dan reformasi pengadilan. Mengapa?

"Karena berdampak pada independensi dan imparsialitas hakim," jawab Widodo tegas.

Terlebih, hakim ad hoc tipikor yang memeriksa dan memutus perkara korupsi, yakni korupsi merupakan perkara pelik di republik ini. Mengingat kejahatan korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa adalah dengan membentuk lembaga negara independen, yaitu KPK.

"Itulah salah satu alasan filosofis mengapa seleksi hakim ad hoc Tipikor di Mahkamah Agung menjadi persoalan mendasar karena seleksi akan mempengaruhi, bahkan menghasilkan tipe-tipe orang yang bertugas sebagai hakim, termasuk pilihan-pilihan yang dibuat oleh mereka sebagai hakim," cetus Widodo.

Widodo menyoroti satu atap kewenangan yudisial di MA kini bermasalah. Sebab, sudah melenceng dari semangat reformasi.

"Ternyata penggumpalan kekuasaan yudikatif di Mahkamah Agung bukan 'obat mujarab'. Rentetan kasus suap yang menjerat hakim dan panitera menunjukkan pengadilan sedang sakit berat dan semestinya dilarikan di 'ruang gawat darurat'. Setiap ada hakim tertangkap tangan KPK, kita seperti orang yang bereaksi menggaruk ketika merasa gatal, lalu melupakan ketika rasa gatal itu menghilang tanpa mempertanyakan akar kausanya. Pemerintah sudah mengeluarkan PP 94 tahun 2012 yang menaikkan tunjangan hakim berlipat-lipat, ternyata juga bukan obat mujarab," beber Widodo.

Jika demikian, solusinya kita harus lebih selektif dalam melakukan seleksi hakim, mata rantai pertama terseleksinya orang-orang terpilih karena kecakapan profesionalitas dan integritasnya sebagai hakim.

"Beberapa standar internasional, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary, angka 2 dan angka 10 menyatakan bahwa terhadap seleksi hakim harus dibuat suatu perisai untuk menghindarkannya dari tujuan-tujuan yang tidak patut, pengaruh yang tidak layak, maupun tekanan terhadap hakim itu sendiri. Kesemua ini berdampak pada independensi dan imparsialitas hakim," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(asp/lir)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads