Pernikahan siswi SMP yang juga anak Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Maluku disesalkan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Ketua MUI Pusat, Abdullah Jaidi, memberikan pandangan mengenai pernikahan tersebut.
"Kalau secara syari boleh dan sah. Tetapi secara UU Perkawinan dalam situasi sekarang ini belum cukup matang dan masih membutuhkan pendidikan seperti teman-temannya. Ya memang kalau sudah lulus SMA sekitar umur 18 tahun maka sudah cukup matang," kata Jaidi lewat pesan singkat, Selasa (12/10/2021).
Kendati demikian, kata Jaidi, pernikahan pada prinsipnya membutuhkan persetujuan dari calon mempelai wanita. Selain itu, restu dari orang tua menjadi hal utama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimanapun juga pernikahan sebaiknya dengan kerelaan dan persetujuan calon mempelai wanita. Selain persetujuan kedua orang tua juga," ujar Jaidi.
Sebelumnya diberitakan, menurut Kasubbag Umum dan Humas Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Maluku, Abdul Karim Rahantan, pernikahan siswi SMP tersebut terjadi pada 29 September lalu. Ada Kepala KUA hadir di acara itu.
"Dia sebetulnya bukan hadir sebagai kapasitas Kepala KUA. Kebetulan pernikahan itu dilangsungkan, dan yang bersangkutan berada di Namrole, lalu kemudian beliau diundang untuk menghadiri," ujar Abdul dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (11/10).
Abdul melanjutkan pernikahan siswi kelas 3 SMP yang usianya masih 15 tahun itu tidak tercatat resmi di KUA. Meski Kepala KUA menghadiri acara.
"Pernikahan ini tidak tercatat secara resmi, tidak dilaporkan di KUA di daerah administrasi di mana pernikahan itu dilaksanakan. Jadi yang bersangkutan (Kepala KUA) hanya menghadiri, lalu kebetulan diberikan porsi membaca rawi dan tidak dilakukan pencatatan," katanya.
Kepala KUA hadir di acara pernikahan anak di bawah umur tersebut karena berteman baik dengan ayah siswi SMP yang menikah.
"Kalau menurut penjelasan Plt Kemenag Buru Selatan itu (Kepala KUA) mereka sudah hidup lama dengan ketua MUI (orang tua siswi), lalu sudah menganggap seperti keluarga. Seperti itu penjelasan beliau yang saya dapat," ungkapnya.
Abdul menyebut pihaknya melalui sudah memanggil Kepala KUA yang hadir di acara pernikahan anak di bawah umur. Dia juga diinterogasi terkait sikapnya tidak mencegah pernikahan anak usia dini.
"Seharusnya Kepala KUA mengambil langkah, yaitu pencegahan perkawinan, karena perkawinan itu di bawah usia. Kalaupun yang bersangkutan tetap melakukan perkawinan berarti harus mengarahkan untuk mendapatkan dispensasi, karena usianya di bawah umur harus mendapat dispensasi dari pejabat terkait," pungkasnya.
Tanggapan Menag
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas sudah angkat bicara mengenai pernikahan tersebut. Yaqut mengingatkan soal batas usia perkawinan.
Yaqut menegaskan bahwa regulasi di Indonesia telah diatur tentang batas usia perkawinan. Aturan ini sekaligus menegaskan larangan menikah bagi anak di bawah umur.
"Regulasi mengatur batas usia perkawinan. Kita punya Undang-Undang No 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di situ jelas diatur bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun," kata Yaqut kepada wartawan, Senin (11/10).
Menag meminta jajarannya, khususnya para penghulu, proaktif mencegah perkawinan anak. Caranya, dengan menolak mencatatkan pernikahan calon pengantin yang masih di bawah umur.
"Kecuali jika sudah mendapatkan dispensasi dari pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup," jelasnya.
Dia menambahkan, untuk menekan praktik pernikahan dini, diperlukan upaya masif dan juga harus melibatkan banyak pihak, tidak cukup hanya Kementerian Agama. Pelibatan instansi lain diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya ketercukupan usia dalam pernikahan, baik dari sisi kesehatan, tumbuh kembang anak, dan masa depan anak.
"Upaya penyadaran ini termasuk penting juga dilakukan oleh media," tutur pria yang akrab disapa Gus Yaqut ini.
Remaja Indonesia, lanjutnya, harus dididik untuk lebih mengutamakan pendidikan dan masa depan mereka.
"Jadi butuh pelibatan banyak pihak, baik para guru di sekolah maupun para penyuluh, baik agama maupun kesehatan," tegasnya.
(knv/fjp)