Guru besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Eko Prasojo, menilai adanya 271 daerah yang akan diisi oleh penjabat gubernur hingga bupati/wali kota imbas Pilkada Serentak 2024 adalah kemunduran birokrasi. Adanya penjabat itu dinilai akan menghasilkan kinerja yang tak maksimal.
"Durasi waktu penjabat kepala daerah ini, kalau kita hitung rata-rata tahun depan itu bulan Mei 7 gubernur akan berakhir, total tahun depan itu sekitar 101 kepala daerah. Tahun depannya lagi 170 kepala daerah," kata Eko dalam webinar yang digelar oleh LP3ES, Jumat (8/10/2021).
"Jadi rata-rata dua tahun lebih penjabat kepala daerah menjalankan pemerintahan. Artinya, berpotensi membuat reformasi birokrasi itu mengalami stagnasi atau mungkin kemunduran," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eko pun menjabarkan alasan dia menyebut hal itu sebagai kemunduran birokrasi. Dia khawatir kerja daerah tidak maksimal jika dipimpin oleh penjabat kepala daerah.
"Wong dengan kepala daerah definitif saja banyak terjadi kasus korupsi, proses reformasi birokrasi tidak terjadi perubahan, berjalan di tempat, apalagi dengan penjabat kepala daerah yang secara psikologis merasa ya 'saya hanya berstatus sebagai penjabat kepala daerah, bukan definitif', ini masalah profesionalitas," jelasnya.
Sekretaris Eksekutif Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) itu menyoroti durasi kepemimpinan penjabat kepala daerah dalam menjalankan pemerintah. Dia menilai penjabat kepala daerah memimpin dalam waktu yang cukup lama.
"Penjabat kepala daerah ini waktunya luas, dua tahun lebihlah. Kalau 2022 nanti selesai bulan Mei, katakan kemudian Pilkada November 2024, berarti kurang-lebih 2 tahun 5 bulan, itu artinya waktunya sangat lama untuk menjalankan pemerintahan yang tidak definitif. Bagaimana nasib reformasi birokrasi, wong dipimpin sama kepala daerah definitif saja tak berjalan, apalagi penjabat kepala daerah," kata dia.
Selain itu, Eko menyoroti legitimasi demokrasi dengan adanya penjabat kepala daerah. Sebab, penjabat kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusat.
"Kedua legitimasi demokrasi dipertaruhkan, karena penjabat kepala daerah bukan hasil dari pilihan masyarakat, tapi lebih pada pilihan dan penunjukan pemerintah pusat. Ini soal akseptabilitas, bagaimana akseptabilitas penjabat kepala daerah di mata masyarakat sebagai stakeholder, apalagi ini didrop dari pusat, apalagi didrop mungkin kawan-kawan TNI/Polri yang sudah lama meninggalkan dwifungsi ABRI terus sekarang masuk ke pemerintahan, mungkin sudah nggak terbiasa dengan permasalahan pemerintahan pada umumnya, karena profesionalitas kawan-kawan TNI/Polri tentu dibentuk untuk pertahanan dan keamanan," kata dia.
Lebih lanjut Eko juga menyoroti kewenangan penjabat kepala daerah. Dia mengatakan kewenangan penjabat kepala daerah tidak dibatasi, berbeda dengan pelaksana tugas.
"Ketiga adalah penjabat kepala daerah yang berbeda dengan pelaksana tugas, ini tentu berbeda. Kalau pelaksana tugas, waktunya dibatasi dan kewenangannya dibatasi. Ini nggak dibatasi. Ini soal akuntabilitas kewenangan," sebut dia.
Kompetensi penjabat kepala daerah juga disoroti oleh Eko. Karena ditunjuk oleh pemerintah pusat, Eko mengkhawatirkan, penjabat kepala daerah tidak memahami daerah yang dia pimpin.
"Kemudian yang keempat pengetahuan penjabat kepala daerah terhadap masalah-masalah potensi yang ada di suatu pemerintahan terbatas. Jadi karena drop-dropan, bisa jadi masalah kapabilitas, pemahaman terhadap potensi kekuatan, dan juga masalah yang ada di suatu darah. Ini masalah kapabilitas menurut saya," jelasnya.
Eko mengatakan 271 daerah yang akan diisi oleh penjabat gubernur, wali kota, dan bupati. Dia mengatakan jumlah itu adalah setengah dari pemerintahan daerah di Indonesia.
"Ada 271 kepala daerah yang itu adalah setengah dari jumlah dari pemerintahan daerah Indonesia yang ada yang menjalankan pemerintahan dengan atau dalam ketidaktepatan sistem. Ini masalah untuk efektivitas pemerintahan secara keseluruhan," tuturnya.
"Indonesia negara desentralistik, urusan-urusan telah diserahkan pada kabupaten/kota pada umumnya, dengan 271 kepala daerah. Jadi 7 gubernur dan sisanya bupati/wali kota. Jadi banyak aspek pemerintahan pelayanan dan pembangunan yang akan dilakukan oleh penjabat kepala daerah yang menjalankan pemerintahan dalam ketidakpastian sistem atau ketidaktepatan-lah," paparnya.
Netralitas penjabat kepala daerah juga disorot oleh Eko. Menurutnya, potensi keberpihakan penjabat kepala daerah pada Pilkada 2024 sangat rentan.
"Belum lagi yang paling penting potensi politisasi menjelang Pilpres dan Pilkada Serentak 2024. Ini masalah netralitas adalah masalah yang terus menerus terjadi," kata dia.
Cara Mengatasi
Eko pun memberikan beberapa solusi agar masalah yang akan dihadapi terhadap adanya penjabat kepala daerah itu. Pertama, Eko mengusulkan agar penjabat kepala daerah dipilih berdasarkan kesepakatan DPRD dan pemerintah pusat.
"Bagaimana mengatasi semua itu, tentu mengenai proses pemilihan penjabat kepala daerah itu sendiri ya menurut saya harus dijamin, jadi untuk memperkuat legitimasi, representasi dan kompetensi penjabat kepala daerah sebaiknya melibatkan DPRD, itu bisa calon diusulkan oleh DPRD ke pemerintah pusat atau mungkin calon diusulkan pemerintah pusat dan mendapatkan persetujuan DPRD atau pembahasan bersama antara pusat dan DPRD," ucap dia.
Lalu bagaimana dengan isu penjabat kepala daerah itu dari TNI/Polri? Eko pun memberikan penjelasan.
"Penjabat kepala daerah ini adalah jabatan sipil yang membutuhkan profesionalisme pengelolaan pemerintahan dan birokrasi. Jadi memang karakteristiknya adalah jabatan sipil karena berkaitan dengan pelayanan sipil," sebut dia.
"Sementara TNI dan Polri yaitu pelayanan tertentu yaitu pelayanan pertahanan dan keamanan. Tentu ini berbeda dengan semangat reformasi serta untuk menjaga profesional TNI dan Polri di bidang pertahanan dan keamanan memang sebaiknya penjabat kepala daerah diisi dari JPT madya dan JPT pratama ASN sesuai dengan UU 10/2016," kata dia.
Jika pun TNI/Polri dicalonkan menjadi penjabat kepala daerah, Eko mengatakan hanya TNI/Polri yang memiliki jabatan tinggi madya dan pratama di jabatan ASN. Akan tetapi, dia tetap menyarankan penjabat itu harus dipilih bersama oleh DPRD dan pemerintah pusat.
"Tetapi jika terpaksa, jika pemerintah berpikir lain ya memang dibuka juga terutama TNI/Polri yang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya dan pratama di jabatan ASN yang tadi menurut UU diperbolehkan, meskipun prosesnya harus sama seperti PNS dan yang diusulkan melalui proses pembahasan antara pemerintahan pusat dan DPRD untuk memperoleh legitimasi," tuturnya.
Solusi lain kata Eko adalah penjabat kepala daerah itu dipilih oleh DPRD. Penjabat yang telah dipilih itu nantinya akan ditetapkan oleh pemerintah pusat.
"Jalan keluar lainnya ya sebenarnya karena ini durasinya cukup lama penjabat kepala daerah dipilih oleh DPRD dan ditetapkan oleh pemerintah pusat, jadi ini jalur yang bisa ditempuh untuk memberikan legitimasi," katanya.