Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan mengatakan krisis iklim yang melanda dunia hari ini perlu mendapatkan perhatian yang ĺebih besar dari berbagai stakeholder baik penyelenggara negara, non-negara, serta masyarakat dunia. Para ilmuwan dan pemimpin agama yang merupakan aktor non negara dinilai memiliki peran strategis serta tanggung jawab moral dalam upaya menjaga kelestarian bumi dari ancaman perubahan iklim.
Syarief mengulas berbagai dialog dilakukan, salah satunya yakni dialog antara pemimpin agama dan ilmuwan dalam menyerukan perlunya tindakan nyata untuk mengatasi perubahan iklim yang berlangsung di Vatikan. Paus Fransiskus menyampaikan kepada Presiden-Designate COP26, Rt Hon Alok Sharma dan Menteri Luar Negeri Italia, Hon. Luigi Di Maio, sebanyak 40 pemimpin agama, yang mewakili miliaran orang di dunia telah sepakat menandatangani Seruan Bersama untuk mengatasi perubahan iklim.
Syarief menegaskan permasalahan krisis iklim ini perlu menjadi prioritas bersama, baik pemerintah dan seluruh elemen bangsa. Ia menguraikan isu perubahan iklim telah ada dan sejak lama menjadi perhatian pemerintah. Sejak tahun 2011, kata dia, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah merumuskan konsep peralihan menuju Green Global Economic, melalui pembangunan dengan konsep strategi pembangunan 4-track, yaitu pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Permasalahan perubahan iklim ini menjadi perhatian Presiden SBY sejak 10 pemerintahan SBY. Strategi pembangunan 4-track juga sudah diadopsi dalam berbagai rumusan kebijakan. Bahkan kemudian konsep ini juga yang melandasi perumusan program-program SDGs (Sustainable Development Goals)," ungkap Syarief, dalam keterangannya, Rabu (6/10/2021).
"Bumi yang kita pijak, usianya semakin tua, dan manusia sudah terlalu banyak membebani kehidupannya dengan mengeksploitasi isi bumi, maka menjadi penting untuk kita sadari bersama, bahwa ancaman krisis iklim itu nyata. Kita sudah rasakan, banyak sekali bencana yang terjadi akibat perubahan iklim ini. Suhu bumi yang semakin panas, kenaikan volume air laut, hingga yang terbaru adalah ancaman tenggelamnya ibukota," paparnya.
Politisi senior partai demokrat tersebut menuturkan saat ini yang menjadi prioritas ialah bagaimana Indonesia bisa berkontribusi di dalam upaya pencegahan perubahan iklim.
"Di DPR saat ini sedang dibahas tentang Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT), di mana Indonesia diharapkan dapat merealisasikan target pengurangan gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 yang termaktubkan dalam UU Nomor 16/2016. Kita terus dorong berbagai produk kebijakan yang ramah lingkungan, sehingga kemudian terbangun sistem nya dan pelaksanaan nya dapat berjalan sesuai dengan target NDC (Nationally Determined Contributions). Ini menjadi concern kita semua ,khususnya pemerintahan sekarang dan yang akan datang," imbuh Syarief.
(akn/ega)