Aktivis Tak Sepakat MK Bilang Koruptor Berhak Dapat Remisi, Ini Alasannya

Aktivis Tak Sepakat MK Bilang Koruptor Berhak Dapat Remisi, Ini Alasannya

Azhar Bagas Ramadhan - detikNews
Rabu, 06 Okt 2021 10:12 WIB
Kegiatan di Mahkamah Konstitusi (MK) nampak berjalan normal seperti biasa. Rencananya, BPN Prabowo-Sandiaga akan menyampaikan gugatan Pemilu hari ini.
Mahkamah Konstitusi (Rengga Sancaya/detikcom)
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan pernyataan bahwa semua narapidana, termasuk koruptor, berhak mendapatkan remisi sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan. Aktivis antikorupsi yang terdiri atas ICW, Pusako FH Unand, dan Pukat UGM tidak sepakat dan menilai putusan tersebut error in objecto atau kekeliruan terhadap objek sehingga menimbulkan ruang tafsir di tengah masyarakat.

"Maka dari itu, putusan MK tersebut jelas error in objecto karena membahas sesuatu yang bukan objek perkaranya serta majelis hakim konstitusi terlihat memaksakan diri mengeluarkan pendapat sehingga membuka ruang tafsir berbeda di tengah masyarakat," tulisnya dalam keterangan yang diterima detikcom, Rabu (6/10/2021).

Menurutnya, pada putusannya, MK telah menyatakan tak akan ikut campur terkait eksistensi PP 99/2012. Dengan itu, mereka menilai bahwa pemberian remisi melalui PP 99/2012 merupakan kesalahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pemberian remisi MK dalam putusannya menyatakan tidak hendak ikut campur dalam penentuan pemberian remisi terutama terkait eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012)," katanya.

"Namun permasalahannya adalah pandangan MK tentang model pemberian remisi harus melalui putusan peradilan. Dari sana, seolah kesan yang timbul, baik pembatasan maupun pemberian remisi melalui PP 99/2012 merupakan suatu kesalahan. Padahal MK sendiri dalam putusan tersebut sudah menyebutkan bahwa wilayah pengujian PP bukan merupakan bagian kewenangannya," tambahnya.

ADVERTISEMENT

Selanjutnya, MK dinilai tidak tegas dalam melakukan putusan tersebut. Pasalnya, putusan baru ini sempat menjadi banyak komentar serta berbagai alasan.

"Meskipun MK sama sekali tidak membatalkan peraturan-peraturan yang ada terkait remisi, namun putusan ini tidak tegas. Sederhananya, jika memang putusan tersebut tidak bertentangan dengan putusan-putusan MK terdahulu, maka tidak perlu lagi komentar-komentar lain di luar substansi permohonan dengan berbagai alasan," katanya.

"Itu sebabnya komentar MK terkait remisi dan kewenangan hakim untuk menentukannya terkesan tidak tegas dalam melindungi putusan-putusan sebelumnya," tambahnya.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.

Dengan itu, MK dinilai tidak memperlihatkan adanya rasa peka dengan tindakan-tindakan koruptif di Indonesia. MK juga dinilai gagal dalam memahami korupsi sebagai tindakan kejahatan yang luar biasa, yang dimaksud dalam upaya memberi jera pada koruptor.

"Ketidaktegasan itu justru semakin memperlihatkan ketiadaan sense of crisis terhadap kejahatan korupsi di Indonesia. Sebagaimana dipahami, praktik korup masih merajalela dan menjadi sumber utama penghambat kesejahteraan masyarakat," katanya.

"Tidak hanya itu, MK juga gagal dalam memahami pemaknaan korupsi sebagai extraordinary crime yang membutuhkan perlakuan khusus untuk dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan," sambungnya.

Lebih lanjut, jika putusan tersebut membuat para narapidana mudah mendapatkan remisi, para aktivis menilai MK menyamaratakan semua tindak pidana, korupsi, maupun terorisme. Menurut dia, MK dahulu melakukan pembatasan hak remisi untuk tindak pidana tertentu salah satunya korupsi

"Sehingga, kalau seluruh terpidana, tanpa terkecuali, dapat dengan mudah mendapatkan remisi, bukankah itu merupakan pandangan yang menyamaratakan semua tindak pidana? Padahal putusan-putusan MK terdahulu tegas mengesahkan pembatasan hak untuk menerima remisi bagi pelaku kejahatan-kejahatan khusus seperti korupsi," ujarnya.

MK Nyatakan Koruptor Berhak Dapat Remisi

Sebagaimana diketahui, MK dalam pertimbangannya menyatakan:

"Adanya syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk diberikan remisi kepada narapidana, seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk penghargaan (reward) berupa pemberian hak remisi (tambahan) di luar hak hukum yang telah diberikan berdasarkan UU 12/2015," kata hakim konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan MK dalam sidang yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (30/9).

"Sebab, pada dasarnya, segala fakta dan peristiwa hukum yang terjadi berkaitan dengan sesuatu tindak pidana yang disangkakan maupun didakwakan kepada seseorang harus diperiksa di persidangan untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan," kata Suhartoyo.

Termasuk misalnya, kata MK, terdakwa yang dinilai tidak mau mengakui perbuatannya ataupun tidak secara jujur mengakui keterlibatan pihak lain dalam tindak pidana yang dimaksud, tentu akan menjadi salah satu hal yang memberatkan hukuman pidana. Karena itu, sampai pada titik tersebut, segala kewenangan dari penyidikan, penuntutan, sampai persidangan pengadilan telah berakhir, dan selanjutnya menjadi ruang lingkup sistem pemasyarakatan sehingga hal-hal tersebut kehilangan relevansinya apabila dikaitkan dengan syarat pemberian remisi kepada narapidana.

"Terlebih kewenangan untuk memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas dan pembinaan terhadap warga pembinaan yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain. Apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan semangat pembinaan warga binaan," kata Suhartoyo tegas.

Tetapi MK juga mengingatkan bahwa negara juga berhak membuat rambu-rambu pemberian remisi.

"Meskipun demikian, pemberian hak tersebut tidak lantas menghapuskan kewenangan negara untuk menentukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh warga binaan karena hak tersebut merupakan hak hukum (legal rights) sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.13] di atas," ucap MK.

Halaman 3 dari 2
(maa/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads