Ahli hukum pidana Suparji Ahmad mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan semua narapidana berhak mendapatkan remisi sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan. Baik itu narapidana narkotika, korupsi, maupun terorisme. Menurutnya, ini sesuai dengan hak asasi manusia (HAM).
"Putusan ini patut diapresiasi karena menjunjung dan sejalan dengan nilai HAM serta konstitusi. Karena semua narapidana pada dasarnya berhak untuk mendapat remisi," kata Suparji dalam keterangan persnya kepada wartawan, Jumat (1/10/2021).
Ia juga mengatakan remisi sejatinya dapat mengurangi overkapasitas lapas. Sebab, kondisi lapas kita hari ini sangat memprihatinkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada yang satu ruangan kecil untuk puluhan orang. Mereka berdesakan dan tidak mendapat perlakuan layak. Dengan remisi, hal itu bisa diatasi dan dapat mencegah peristiwa nahas seperti di Lapas Tangerang kemarin," paparnya.
Menurutnya, MK juga sudah tepat bila tidak menguji PP No 99 Tahun 2012 yang melarang remisi bagi narapidana korupsi, terorisme, narkotika, dan beberapa tindak pidana lain. Aturan ini, kata dia, lebih tepat jika dibawa ke Mahkamah Agung (MA).
"PP tersebut bisa dibawa ke Mahkamah Agung untuk judicial review. Secara normatif, PP tersebut ada masalah, karena ketentuan pengecualiannya hanya disisipkan. Maka perlu dilakukan pengujian dan peninjauan kembali di MA," jelas Suparji.
Pemberian remisi, menurut Suparji, adalah hak setiap narapidana. Ia setuju bila persyaratannya harus diatur.
"Namun jangan sampai remisi tidak diberikan karena itu tak sejalan dengan nilai HAM," pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, MK dalam pertimbangannya menyatakan:
"Adanya syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk diberikan remisi kepada narapidana, seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk penghargaan (reward) berupa pemberian hak remisi (tambahan) di luar hak hukum yang telah diberikan berdasarkan UU 12/2015," kata hakim konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan MK dalam sidang yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (30/9/2021).
"Sebab, pada dasarnya, segala fakta dan peristiwa hukum yang terjadi berkaitan dengan sesuatu tindak pidana yang disangkakan maupun didakwakan kepada seseorang harus diperiksa di persidangan untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan," kata Suhartoyo.
Selengkapnya halaman berikutnya.
Termasuk misalnya, kata MK, terdakwa yang dinilai tidak mau mengakui perbuatannya maupun tidak secara jujur mengakui keterlibatan pihak lain dalam tindak pidana yang dimaksud, tentu akan menjadi salah satu hal yang memberatkan hukuman pidana. Karena itu, sampai pada titik tersebut, segala kewenangan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai persidangan pengadilan telah berakhir, dan selanjutnya menjadi ruang lingkup sistem pemasyarakatan. Sehingga hal-hal tersebut kehilangan relevansinya apabila dikaitkan dengan syarat pemberian remisi kepada narapidana.
"Terlebih kewenangan untuk memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas dan pembinaan terhadap warga pembinaan yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain. Apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan semangat pembinaan warga binaan," kata Suhartoyo tegas.
Baca juga: Memahami Potensi Over-Kapasitas Lapas |
Tetapi MK juga mengingatkan bahwa negara juga berhak membuat rambu-rambu pemberian remisi.
"Meskipun demikian, pemberian hak tersebut tidak lantas menghapuskan kewenangan negara untuk menentukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh warga binaan karena hak tersebut merupakan hak hukum (legal rights) sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.13] di atas," ucap MK.