Serikat Nelayan NU Minta Pemerintah Revisi Aturan Produktivitas Penangkap Ikan

Tim detikcom - detikNews
Senin, 04 Okt 2021 13:34 WIB
Serikat Nelayan NU (Dok. SNNU)
Jakarta -

Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU) meminta Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk segera melakukan tindakan terkait permintaan revisi PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 86 dan 87 Tahun 2021 soal produktivitas kapal penangkap ikan.

Ketua Umum SNNU Witjaksono mengaku telah mendengar langsung suara dan keluh kesah nelayan-nelayan di penjuru tanah air, terkait kebijakan Menteri KKP yang mulai menjadi polemik di kalangan nelayan serta pelaku usaha bidang kelautan dan perikanan.

"Pertama, kebijakan ini harus secepatnya di revisi, jangan sampai eskalasi (polemik) menjadi kegaduhan di tingkat grassrooot atau masyarakat luas, bahaya ini. Narasi di lapangan, mereka mati perlahan bukan gegara COVID atau tenggelam di lautan, namun kehidupan nelayan bisa paripurna karena kebijakan tersebut," kata Witjaksono saat dihubungi wartawan, Senin (4/10/2021).

Entrepreneur muda Nahdliyin ini memaparkan bahwa PP Nomor 85 Tahun 2021 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 86 dan 87 Tahun 2021 telah memberi ruang untuk pungutan PNBP bagi kapal penangkap atau pengangkut ikan berukuran 5-30 gross tonnage (GT), yang biasa digunakan oleh jutaan nelayan kecil.

Padahal pungutan PNBP sebelumnya hanya diberlakukan untuk kapal dengan ukuran di atas 30 GT. Dari suara yang didengar dan fakta yang dilihatnya, tokoh UMKM nasional ini menduga ada tekanan yang dirasakan para nelayan saat hendak melaut, mencari nafkah bagi keluarganya di rumah.

"Patut diduga ada tekanan. Misalnya dihambatnya dokumen kelengkapan melaut oleh petugas di lapangan, sebelum nelayan kecil membayar hal-hal yang diatur dalam PP maupun KepMen. Bayangkan, situasi mencekam bukan hanya ada di tengah lautan, melihat petugas di bibir pantai ternyata lebih menakutkan bagi nelayan," terang Witjaksono.

Witjaksono yang pernah disebut Ustaz Yusuf Mansyur sebagai kandidat menteri UKM ini mengatakan penarikan pungutan pra dan pasca produksi dapat berpotensi menimbulkan praktik manipulasi dan monopoli yang berpotensi menimbulkan kerugian pendapatan negara.

Menurutnya, kenaikan pungutan dalam bentuk penentuan skala persentase kapal ukuran 5-60 GT sebesar 5 persen, 61-1.000 GT sebesar 10 persen dan 1.000 GT ke atas, tidak sesuai dengan kemampuan SDM lokal dan justru cenderung menguntungkan pengusaha besar serta membuka potensi masuknya kapal asing untuk merampok kekayaan laut di perairan NKRI.

Selain itu, penetapan harga patokan ikan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 86 Tahun 2021 untuk perhitungan pungutan hasil perikanan dan produktivitas penangkapan ikan juga dinilai tidak memiliki dasar yang komprehensif, karena melupakan dasar pembuatan kebijakan dengan tidak melibatkan organisasi kemasyarakatan terkait.

Bukan hanya itu, penetapan tersebut tidak memperhatikan musim, kualitas ikan pasca tangkap dan lokasi tangkap. Bahkan ditemukan jenis ikan yang memiliki harga jauh lebih rendah daripada harga patokan yang tentu saja membuat nelayan merugi sehingga dianggap tidak masuk akal.

"Kebijakan menteri ini sadis, menyiksa, dan memperkosa hak dan pendapatan nelayan serta pengusaha kecil kelautan dan perikanan. Mereka akan menjadi sapi perah, tumbal atas program akselerasi PNBP yang sejatinya hanya fatamorgana karena jelas tidak akan didapat dengan berkah dari mencekik atau merogoh paksa kantung celana para nelayan kecil," jelas Witjaksono.

Witjaksono juga mengkritisi ide, pemikiran dan gagasan Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono perihal kebijakan untuk kebajikan di sektor perikanan tanah air, yang meng-'copy-paste' kebijakan serupa di Uni Eropa, Islandia, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.

Penerapan kebijakan penangkapan terukur sekaligus akan menghapus stigma tingginya praktik ilegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di Indonesia karena tolok ukur penanganan praktik IUUF ternyata bukan sebatas seberapa banyak kapal penangkapan ikan ilegal yang berhasil pemerintah lumpuhkan, tapi juga bagaimana negara mengelola sumber daya perikanan yang dimiliki sesuai dengan prinsip ekonomi biru.

Kebijakan penangkapan terukur akan mengubah IUUF menjadi LRRF atau Legal Regulated Reported Fishing.




(fjp/van)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork