Kolom Hikmah

Sabar

Aunur Rofiq - detikNews
Jumat, 01 Okt 2021 07:35 WIB
Foto: Ilustrasi: Zaki Alfaraby/detikcom
Jakarta -

Sikap sabar merupakan bagian dari iman. Seseorang hamba yang memiliki sifat ini, dia akan menjadi orang yang tenang jika ada musibah dan pantang menyerah ketika melaksanakan tujuan. Penulis mau mengupas faktor-faktor yang bisa mendorong seseorang memiliki dan bisa bersikap sabar.

Seorang hamba hendaknya suka dengan tahu diri, maksudnya adalah seseorang tersebut harus tahu diri. Dirinya pada posisi apa, tahu akan harapannya, dimana dia menjadi anggota komunitas dan tahu karakter lingkungannya. Juga menyadari seorang hamba adalah kepunyaan Allah, diciptakan dari tiada menjadi ada, kemudian memberikannya kehidupan, perasaan, pendengaran, penglihatan dan yang terakhir Allah melimpahkan padanya nikmat lahir dan batin.

Nikmat kesehatan dan kekuatan, harta kekayaan yang dimiliki, anak-anak yang dilahirkan, semuanya ini dari Allah. Kita simak firman Allah pada surah an-Nahl ayat 53, " Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah ( datangnya )." Mengerti dan menghayatinya bahwa semua nikmat dari Allah, maka ketika ada musibah yang menimpa berarti Pemiliknya menarik kembali sebagian yang telah diberikan. Tidak pantas seorang yang menerima titipan merasa kecewa apalagi mengutuk ketika titipan tersebut diminta kembali pemiliknya.

Seorang penyair berkata, " Harta dan keluarga itu hanyalah titipan. Pada suatu hari titipan itu pasti akan diminta kembali."
Maka jika seorang yang beriman jika mendapati musibah akan berucap, " Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali (Al-Baqarah 2:156). Kalimat ini merupakan obat yang mujarab ketika datangnya musibah. Menurut Ibnul Qayyim mempunya dua prinsip.

Pertama, bahwa manusia adalah hamba dan segala hal yang ada padanya adalah milik Allah. Apa saja yang ada pada hamba merupakan titipan. Disini seorang hamba tidak boleh bersombong atas upayanya yang sukses dan berucap, " sukses ini karena saya berstrategi dengan tepat dan jitu." Ucapan ini seakan memberikan pengingkaran atas nikmat berpikir yang diberikan-Nya, dia lupa jika suatu saat titipan nikmat tersebut diambil kembali, dia akan menjadi orang yang linglung meski bergelar akademis berderet-deret. Sama halnya seorang hamba yang selalu mengejar dan menumpuk kekayaan dan beranggapan harta tersebut akan meningkatkan derajatnya. Pada saat semua harta yang menjadi sandaran derajatnya diminta kembali pemiliknya, maka dia akan linglung, namun bagi yang beriman jika hal yang sama terjadi, dia akan tersenyum karena sadar betul titipan tersebut lagi diminta Sang Pemilik.

Kedua, nasib dan tempat kembalinya adalah pada Allah, dan bahwa dia sadar karena pasti akan meninggalkan dunia. Seorang hamba akan menghadap Sang Pencipta seorang diri, tanpa ditemani istri, anak-anak dan harta kekayaan. Yang menyertainya adalah kebaikan dan kejahatan. Jika timbangannya lebih didominasi kebaikan, maka akan mendapatkan tempat yang sesuai ( surga ) dan sebaliknya jika timbangannya lebih berat kejahatannya, maka neraka akan menantinya.
Jika demikian awal dan kesudahannya, maka dia tidak akan bangga dengan yang ada dan tidak akan putus asa karena yang hilang. Pada dasarnya prinsip pemikiran tentang dunia dan akhirat ini merupakan obat bagi setiap penyakit ( musibah ).

Inilah kisah teladan tentang sikap bersandar secara paripurna pada Sang Pencipta. Dikisahkan Ummu Sulaim bersama suaminya Abu Talhah saat anaknya meninggal. Abu Talhah tidak berada di rumah, maka Ummu Sulaim memandikan dan mengkafaninya, memberikan wewangian dan menutup kain diatasnya. Saat Abu Talhah datang dan bertanya," Bagaimana keadaan si kecil ( anaknya )?". Dijawabnya, " Jiwanya sudah tenang dan aku berharap mudah-mudahan dia sudah istirahat. Saat itu sang ayah mengira bahwa anaknya sedang istirahat dan tidur karena kesembuhannya. Maka istrinya berkata," Wahai Abu Talhah, bagaimana menurut kamu seandainya ada satu kaum yang memberikan suatu pinjaman kepada salah satu keluarga, kemudian mereka meminta kembali pinjaman itu, apakah permintaan itu layak ditolak?" Sang suami menjawab," Tidak karena pinjaman itu harus dikembalikan kepada yang berhak memilikinya." Sang istri berkata," Sesungguhnya Allah telah memberika pinjaman kepada kita, yaitu anak kita, kemudian Allah mengambilnya kembali dari kita."

Di dalam kisah ini yang paling penting adalah pernyataan Ummu Sulaim, bahwa anak itu merupakan pinjaman dari Allah yang diberikan-Nya pada hamba-Nya kapan saja Allah suka dan sebaliknya kapan saja diambil kembali. Keikhlasan akan terjadi saat kita menyadari karena semua hakikatnya milik-Nya. Semoga kita selalu menyadari dan meresapinya, agar sabar menjadi sikap hidup.

Aunur Rofiq

Sekretaris Majelis Pakar DPP PPP 2020-2025

Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia )

*Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. --Terimakasih (Redaksi)




(erd/erd)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork