Konflik berdarah di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), menjadi catatan kelam bangsa Indonesia. Nama Kiai H Muhammad Adnan Arsal dikenal sebagai Panglima Damai Poso.
Tokoh muslim Poso itu adalah tokoh sentral di proses perdamaian di Poso. Saat konflik melanda sejak 1998, Muhammad Adnan Arsal diangkat warga muslim Poso sebagai panglima mereka.
Panglima Damai Poso itu berbagi kisah terkait konflik Poso di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dia menegaskan tidak ada hal positif yang bisa diambil dari konflik berdarah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tiba di Bima, seperti kampung saya sendiri. Saya juga bertemu dengan orang-orang Bima yang dulu pernah di Poso, pertemuan yang mengharukan," kata Kiai Adnan, Sabtu (18/9/2021).
Hal itu dikatakannya di Hotel Marina Inn Kota Bima, NTB, Jumat (17/9). Dia ke Bima juga atas undangan menjadi pembicara dalam bedah buku 'Muhammad Adnan Arsal, Panglima Damai Poso' yang akan digelar hari ini di Pondok Pesantren Al Madinah Sila, Bima.
Buku itu menceritakan bagaimana situasi Poso sebelum konflik, awal konflik, hingga terjadi pertumpahan darah. Dia mengatakan, dalam menyelesaikan konflik, dialog harus terus dilakukan dari tingkat tokoh masyarakat hingga ke bawah.
Dia mengatakan konflik hanya mendatangkan luka dan kepedihan. Peristiwa yang sudah terjadi harus dijadikan perjalanan berharga agar tidak ada lagi di masa mendatang.
Kiai Adnan berharap publik Indonesia secara keseluruhan dapat memahami bahwa kini Poso sudah menjadi daerah yang damai, sedang membangun peradaban baru yang mengedepankan kemajemukan. Pendidikan juga dikedepankan agar warga tidak mudah terhasut ajakan-ajakan konflik horizontal.
"Apa pun motifnya, tidak ada ruang untuk konflik di Poso, terlebih di bumi Indonesia," ujarnya.
Dia mengatakan, Bima dipilih sebagai lokasi acara lantaran pada saat konflik, banyak warga dari Bima yang berangkat ke Poso untuk angkat senjata, khususnya santri-santri yang termakan hasutan sesat. Dia tidak ingin ada lagi kejadian serupa.
"Harapannya, dengan bedah buku tersebut, stigma negatif Poso sebagai daerah konflik akan luntur dan masyarakat Indonesia pada umumnya dapat melihat Poso sebagai daerah yang aman dan nyaman. Bumi Sintuwu Maroso itu asri, sangat menarik untuk dikunjungi, bahkan ditinggali," ucap Adnan Arsal.
Pengurus Ponpes Al Madinah Ustaz Bunyamin mengatakan santri-santri dari Ponpes Al Madinah diketahui sempat datang ke Poso di masa-masa konflik. Padahal tidak ada anjuran atau perintah untuk datang ke Poso dari ponpes.
"Kami tidak pernah meminta para santri untuk berangkat ke Poso. Itu semua inisiatif mereka karena termakan hasutan dari pihak yang ingin Poso menjadi wilayah konflik berkepanjangan," ungkapnya.
Dia menegaskan Ponpes Al Madinah tidak hadir untuk memproduksi para teroris, apalagi memusuhi negara. Baginya, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati.
Bunyamin juga mengaku senang atas kehadiran H Muhammad Adnan Arsal. Tidak disangka, harapannya agar sosok Panglima Poso ini bisa hadir di Bima dapat terwujud.
Sementara itu, penulis buku 'Muhammad Adnan Arsal, Panglima Damai Poso', Khoirul Anam, mengatakan sosok dalam buku yang ditulisnya telah dianggapnya sebagai orang tua sendiri. Dia melihat keteladanan seorang pemimpin dalam mengayomi dan menginginkan kedamaian untuk Poso.
Anam menambahkan, bedah buku ini untuk berbagi pesan tentang konflik yang hanya memunculkan kesengsaraan. Juga pentingnya ketegasan pemerintah dan aparat dalam meredam akar konflik.
(jbr/jbr)