Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mengklaim memiliki bukti transaksi mencurigakan terkait kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) eks Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Rita Widyasari. MAKI pun melaporkan hal itu ke KPK.
"Saya melaporkan pada KPK sebagai transaksi mencurigakan. Saya belum bisa menyampaikan ini dipakai untuk apa, tapi setidaknya cara-caranya yang tidak normal," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (14/9/2021).
Boyamin mengatakan dugaan adanya transaksi mencurigakan ini merupakan hasil perkembangan dari dakwaan eks penyidik KPK AKP Stepanus Robin Pattuju yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin kemarin (13/9).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini perkembangan sebagaimana dakwaan yang dibacakan di PN Jakarta Pusat kemarin yang menyangkut terdakwa Robin Pattuju dan Maskur. Ada tiga klaster besar waktu itu Tanjungbalai, Lampung Tengah, dan Rita Widyasari. Klaster kecilnya Usman Effendi dan Ajay," katanya.
"Proses itu kan ada kasus menyangkut TPPU itu Lampung Tengah dan Rita Widyasari," imbuh Boyamin.
Boyamin menjelaskan bahwa dugaan transaksi mencurigakan yang diserahkan ke KPK ini bernilai hingga puluhan miliar rupiah. Transaksi itu terjadi secara bertahap dari 2018 hingga 2020.
"Ketika proses penyidikan kan memanggil saksi-saksi, saksi ini kebetulan dari perusahaan-perusahaan dan selama proses pemanggilan itu dari 2019 hingga 2020 bahkan ada 2018, ada laporan ke saya, ada dugaan transaksi penukaran uang dari rupiah ke dolar Singapura dan selalu mencari uang dominasi 1.000 dolar Singapura. Tahun 2019 sekitar Rp 5 miliar, 2018 juga lebih besar, dan 2020 masih ada kecil. Saya anggap puluhan miliar," jelasnya.
Selanjutnya, Boyamin mengatakan dugaan transaksi mencurigakan ini dilaporkan agar KPK menemukan benang merah dari masing-masing kasus yang terkait dengan AKP Robin. Dia berharap KPK bisa memproses bukti tersebut dan segera menetapkan tersangka baru.
"Kalau lawyer yang didakwa bersama Robin ternyata kan upah besar itu menyangkut hal yang tidak normal. Makanya saya sekarang menambahkan pada KPK bahan ini supaya dari lima klaster itu nampaknya ada yang paling tidak minimal dua yang berkelindan. Kalau uang ini bisa dilacak sebenarnya memudahkan KPK membuat benang merah. Kalau kemarin kan belum nampak benang merah di dalam dakwaan masih ada seperti terputus dari masing-masing klaster," ujarnya.
"Kalau saya membantu ini mudah-mudahan ada benang merahnya sehingga memudahkan menindaklanjuti pada pihak lain seperti menetapkan tersangka lain dan sebagainya," tambah Boyamin.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Sebelumnya, KPK menegaskan bahwa peran Rita dalam pengembangan perkara tindak pidana pencucian uang atau TPPU masih diusut. Ali menepis bahwa perkara ini mangkrak.
"KPK pastikan penanganan perkara ini masih terus berjalan. Tim masih terus bekerja melengkapi berkas penyidikannya," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Senin (6/9).
"Sehingga tidak tepat jika ada pihak mengatakan perkara ini mangkrak," sambungnya.
Mantan Bupati Kukar itu awalnya dijerat KPK berkaitan dengan suap dan gratifikasi. Dia telah divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Rita terbukti menerima uang gratifikasi Rp 110.720.440.000 terkait perizinan proyek pada dinas Pemkab Kukar dan menerima uang suap Rp 6 miliar terkait pemberian izin lokasi perkebunan sawit. Uang suap itu diterima dari Direktur Utama PT Sawit Golden Prima Hery Susanto Gun alias Abun.
Atas vonis itu, Rita sudah dieksekusi ke Lapas Perempuan Pondok Bambu sejak Juli 2018. Namun, beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada Januari 2018, KPK memberikan sangkaan baru pada Rita, yaitu terkait pencucian uang yang hingga kini kasusnya masih berproses.