Terlapor pelecehan seksual sesama pria pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengancam bakal melapor balik korban karena mengalami bullying di dunia maya setelah korban membuat surat terbuka soal dugaan pelecehan. Ahli hukum pidana dari Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad, menyebut ancaman laporan terlapor tidak memiliki dasar.
"Ancaman laporan karena terlapor dalam perundungan mengalami cyberbullying di dunia maya ya laporan itu tidak memiliki dasar tindak pidana yang jelas, yang mau dilaporkan siapa? Apakah korban atau orang-orang yang melakukan bullying?" ujar Suparji kepada detikcom, Selasa (7/9/2021).
"Kalau yang dilaporkan korban ya korban tidak melakukan bullying tetapi hanya melaporkan saja. Kalau yang melaporkan (dilaporkan) itu adalah orang yang mem-bully di media sosial atau netizen itu juga tidak bisa diklarifikasi sebagai perbuatan pidana," jelas Suparji.
Suparji menyebut cyberbullying perlu dibuktikan dengan unsur-unsur perbuatan pidana.
UU ITE
Suparji menyebut korban tidak bisa kena Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hal itu dikarenakan korban membuat surat terbuka terkait dugaan pelecehan di KPI itu untuk pembelaan diri.
"Korban tidak bisa kena undang-undang ITE karena apa yang dilakukan adalah dalam konteks membela diri jadi kalau dianggap sebagai pencemaran nama baik itu tidak bisa," kata Suparji.
"Karena pencemaran nama baik itu dikecualikan jika dia melakukan itu karena pembelaan diri atau untuk kepentingan umum misalnya dia dicopet, maka dia teriak-teriak pada copet itu, kan bukan pencemaran baik, itu membela diri," lanjutnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut cyberbullying yang diterima terlapor adalah konsekuensi dari perbuatannya.
"Pelaku yang mengalami cyberbullying adalah konsekuensi perbuatannya jika (pelecehan dan perundungan) benar dilakukan," tutur Abdul.
Simak di halaman berikutnya
Saksikan video 'Terlapor Pelecehan di KPI Pertimbangkan Lapor, Ini Respons Komnas HAM':
(isa/idn)