Sifat tawadhu' adalah "rendah hati" akan berbeda dengan sifat rendah diri atau minder. Rendah hati merupakan bentuk sifat tahu diri dalam menempat dirinya, sehingga dalam pergaulan dia tidak menjadi sombong apakagi takabur. Beberapa contoh dari sifat tawadhu" seperti :
Jika bertemu dengan orang yang belum dewasa, hatimu berkata, "Anak ini masih muda belum melakukan kemaksiatan pada Allah, sedangkan diriku sudah pernah berbuat maksiat, maka jelas bahwa dia lebih baik dari padaku."
Bila jumpa orang tua, katakan dalam hati, "Orang ini lebih banyak beribadah kepada Allah dari padaku, maka dia lebih baik dari diriku."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat melihat orang alim, hatimu akan berkata, "Orang ini lebih dianugerahi ilmu yang tidak aku miliki, dia menyampaikan sesuatu yang tidak aku sampaikan, dia mengetahui sesuatu yang tidak pernah aku ketahui, bagaimana aku bisa menyamai dia? Aku lebih bodoh dan jelas dia lebih mulia."
Jika bertemu orang bodoh, katakan di hati, "Orang ini telah melakukan kemaksiatan kepada Allah karena ketidaktahuannya, sedangkan aku melakukannya dengan penuh kesadaran. Maka tanggung jawabku pada-Nya jauh lebih berat dari pada tanggung jawab dia."
Memang tidak mudah dalam bersikap tawadhu, karena kehidupan saat ini sangat ketat berkompetisi sehingga ada perasaan ingin mengungguli sahabat/kolega/tetangga dan lainnya.
Dengan menyikapi seperti di atas, hal ini merupakan langkah untuk menangkal kesombongan, memandang rendah orang lain. Maka engkau akan diselamatkan dari azab Allah.
Sifat tawadhu' dan penafian diri merupakan bentuk ubudiyah yang benar, karena begitu banyak anjuran di dalam syariat yang menerintahkan untuk tawadhu'. Sifat ini adalah kebalikan dari sifat takabur. Kita bisa artikan bahwa tawadhu' merupakan kesadaran manusia atas kedudukannya yang sejati di hadapan Allah SWT.
Sifat tawadhu' ini dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah seperti Urwah bin Zubair menuturkan, "Suatu ketika aku melihat Umar bin Khattab sedang memikul geriba air (wadah air dari kulit). Aku lalu berkata, "Wahai Amirul Mukminin kau tidak pantas melakukan itu." Umar pun menjawab, "Ketika aku didatangi para utusan yang menyatakan tunduk patuh kepadaku, tiba-tiba ke dalam diriku masuk perasaan bangga, maka aku ingin menghancurkan perasaan itu." Itulah sebabnya Amirul Mukminin membawa geriba air dan menuangkannya ke dalam wadah air milik wanita Anshar.
Jika kita simak dengan teliti, bahwa seorang pemimpin berbuat mencukupi kebutuhan air warganya. Alangkah indahnya jika para pemimpin kita dapat bersikap tawadhu' dan selalu mementingkan kebutuhan warganya.
Kita semua sadari bahwa kebutuhan dasar sebagai warga negara sebagian besar sudah terpenuhi, pangan, sandang dan papan. Meski pangan kita masih belum memenuhi sendiri dan membutuhkan pasokan dari negeri lainnya. Dengan sifat tawadhu' maka para pemimpin sebenarnya bisa mengejar ketertinggalan dalam pemenuhan pangan dari produksi sendiri. Keengganan memikirkan dan menemukan formula karena godaan kemudahan dalam impor pangan.
Penulis berikan contoh sifat tawadhu' yang lain disertai dengan akhlak yang mulia. Dikisahkan suatu ketika Zaid bin Tsabit menunggangi hewan kendaraannya, lalu mendekatlah Abdullah bin Abbas untuk meraih tali kekang tunggangannya, sehingga Zaid pun berkata, "Tak usah, wahai sepupu Rasulullah." Namun Ibnu Abbad menukas, "Seperti inilah kami diperintah untuk memperlakukan para ulama kami." Kemudian Zaid bin Tsabit langsung meraih tangan Ibnu Abbas dan menciumnya, seraya berkata, "Seperti inilah kami diperintah untuk memperlakukan para Ahlu Bait Rasulullah."
Betapa mulia perlakuan keduanya, mereka saling berebut untuk menghormati. Perasaan lebih hebat, lebih terhormat menjadi hilang. Apalagi berbangga diri sebagai ulama maupun berbangga sebagai sepupu Rasulullah sama sekali tidak terlihat, beliau berdua menempatkan diri dengan landasan sifat tawadhu'. Mampu menentukan posisinya di hadapan Allah, yaitu dirinya tidak berarti apa-apa di hadapan Dzat yang Maha Mutlak dan tidak terbatas.
Seorang mukmin yang tawadhu' tentu akan mudah dan disukai dalam pergaulan. Kunci berbisnis dengan komunikasi dan bisa menempatkan diri akan memperlancar urusannya. Semoga kita selalu mendapatkan tuntunan menuju ridha-Nya dan menjadi hamba yang tawadhu.'
Aunur Rofiq
Sekretaris Majelis Pakar DPP PPP 2020-2025
Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia )
*Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. --Terimakasih (Redaksi)
Simak juga 'Langkah Percepatan Vaksinasi Covid-19 untuk Santri di Polewali Mandar':