Empat orang warga mengajukan judicial review UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait parpol boleh mengusung nonparpol berlaga di pilpres. Keempat pemohon ialah Martondi, Naloanda, Gontar Lubis, dan Muhammad Yasid.
Mereka menggugat Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mereka berharap MK mengubah sesuai keinginan mereka.
"Sehingga bunyi selengkapnya Pasal 222 tersebut menjadi 'Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya, terkecuali untuk calon presiden dan wakil presiden dari rakyat kelompok nonpartai politik, diusulkan oleh partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon, yang persyaratannya ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum'," demikian permohonan Martondi dkk sebagaimana dikutip dari website MK, Rabu (25/8/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut bunyi Pasal 222 UU Pemilu yang berlaku saat ini:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya
Pemohon menilai parpol memegang kunci capres/cawapres. Namun hal ini menjadi pertanyaan mengapa hak pilih rakyat beralih ke parpol untuk menyeleksi kandidat capres. Padahal, kata pemohon, setiap rakyat mempunyai hak konstitusi untuk memilih dan dipilih dalam pilpres.
"Pasal 6A ayat 2 UU 1945 itu seolah-olah telah menutup dan menyumbat saluran bagi hak konstitusi rakyat kelompok nonparpol untuk dipilih menjadi presiden dan wakil presiden. Sebenarnya tidak demikian, karena ketentuan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 itu hanya menentukan tata cara atau prosedur atau mekanisme dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Bukan menutup atau menyumbat saluran hak konstitusi untuk dipilih dari rakyat kelompok nonparpol," ujarnya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya
Harapan capres independen bisa berlaga di pilpres bukan hal baru. Paranormal Ki Gendeng Pamungkas pernah akan mencalonkan diri menjadi presiden pada 2024. Namun Ki Gendemg keburu dipanggil Sang Khalik.
Pada 2008, Fadjroel Rahman juga menggugat UU Pemilu ke MK. Saat itu, Fadjroel menyerahkan kuasa kepada Taufik Basari, yang kini anggota DPR dari NasDem.
"Jangan hanya melalui jalur partai saja. Bagaimana dengan mereka yang mempunyai kemampuan sebagai presiden namun tidak masuk dalam lingkup partai dan terkendala dengan minimnya biaya?" ungkap Fadjroel kala itu.
Selain itu, Fadjroel mencontohkan putusan MK yang memberikan tafsir calon independen bisa berlaga di pilkada. Sehingga, bagi dia, cukup alasan MK juga memberlakukannya di pilpres.
"Mahkamah Konstitusi telah memberi tafsir pelaksanaan demokrasi dalam kaitannya dengan pemilu eksekutif (di daerah melalui pilkada) bahwa pemilu tersebut tidak boleh menutup peluang adanya calon perseorangan karena partai politik hanyalah salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi. Sehingga adalah wajar apabila dibuka partisipasi dengan mekanisme lain di luar parpol untuk penyelenggaraan demokrasi," ujar Fadjroel.
Namun MK mengubur mimpi Fadjroel. MK menilai ketentuan pasal ini sudah jelas baik secara tekstual maupun dengan penafsiran melalui original intent atau kehendak awal. Di mata MK kala itu, larangan capres perorangan tidak diskriminatif karena siapa saja yang memenuhi syarat demikian dapat diusulkan dan didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk menjadi presiden dan/atau wakil presiden tanpa harus menjadi pengurus atau anggota partai politik.