Mahfud menyebut Gus Dur yang sudah wafat tetap memberikan ide dan pemikiran yang menyertai bangsa Indonesia sampai saat ini. Dia lantas menyebut sosok Gus Dur yang selalu diingat ketika Indonesia akan dilanda perpecahan.
"Terasa hidupnya Gus Dur malam ini menemani kita, menemani pemikiran kita, menemani langkah-langkah kita, dan menemani bangsa Indonesia. Setiap ada apa-apa, kalau ada bangsa ini mau pecah, orang ingat konsepnya Gus Dur tentang kebersatuan dan toleransi," kata Mahfud Md saat acara haul Gus Dur ke-12 seperti disiarkan Youtube NU Channel, Minggu (22/8/2021).
Mahfud lantas menceritakan satu titik perjalanan Gus Dur di pemilu era reformasi. Mahfud menyebut saat itu, ketika Soeharto tidak lagi menjabat dan diadakan Pemilu, Megawati terpilih sebagai kandidat Presiden dengan suara terbanyak.
Saat itu, kata Mahfud, kelompok PDIP sangat keras mendukung Megawati untuk menjadi Presiden Indonesia. Mereka merasa saat itu Megawati telah memenangkan Pemilu sebanyak 34 persen suara sehingga berhak menjadi Presiden.
"Dulu aliran politik kita ingat ada kelompok PDIP yang sangat keras mendukung yang jadi Presiden itu harus Mbak Mega, kenapa? Karena dia menang Pemilu, bayangkan 34 persen ya waktu itu, yang lain di bawah 25 lah, kecil-kecil, PDIP 34 persen, mau lihat kursi atau suaranya, 36 persen kalau suaranya, kursinya 34 persen," ucapnya.
Namun keinginan PDIP itu dihalangi oleh partai-partai Islam yang menginginkan Habibie menjabat sebagai Presiden RI. Saat itulah, kata dia, terjadi kondisi yang memanas di Indonesia lantaran kedua pihak saling memberi ancaman akan mengacaukan Jakarta.
"Ini pokoknya kelompok Islam lah pokoknya bergabung di situ, yang satu ingin Megawati yang satu ingin Habibie, itu sudah panas karena sudah saling ancam ya, massa PDIP bilang kalau Mbak Mega nggak jadi Presiden Jakarta akan dikacaukan, dimerahtotalkan, kita bisa lihat sejarah ini belum lama baru 21 tahun lalu. Pokoknya harus Mbak Mega, logika demokrasi mengatakan yang menang Pemilu itu harus jadi Presiden, tetapi kelompok Islam pada waktu itu yang masih dominan di Golkar, di PPP dan lain lain inginnya Habibie, meskipun PDIP menang, tetapi gabungan Partai Islam, PBB, PKS, PPP, Golkar dan macem macem itu jauh lebih banyak, wah terjadi ini," jelas Mahfud.
Mahfud menyebut saat itu pihak PDIP mengancam akan mengacaukan Jakarta dengan 1,5 juta orang sementara pihak partai Islam lainnya akan mengacaukan Jakarta dengan 3 juta orang. Saat itulah, kata dia, Gus Dur hadir sebagai jalan tengah menenangkan situasi itu.
"Di situ orang katakan Gus dur itu cerdik, sebagai konseptor dia ulung, dia juga brilian, tetapi dalam taktis cerdik, waktu itu tenang-tenang aja Gus Dur gitu ya bicara selalu 'saya akan jadi Presiden' dengan warna-warna spiritual selalu muncul tetapi tenang, tidak menggebu, tidak melawan, dan setelah terpilih apa yang dilakukan Gus Dur pertama? Dia katakan Wapres saya harus Megawati waktu itu, di situ kemudian negara selamat tidak jadi perpecahan," ujarnya.
"Jadi itulah Gus Dur muncul dalam keadaan kritis ketika negara ini sudah ya, ketika kita ingat tahun 1998, mulai bulan Juni setelah Pemilu itu panasnya bukan main, rakyat resah juga, apalagi waktu itu masih suasana krismon, sekarang pandemi yang menakuti kita. Nah Gus Dur berhasil satukan lintas kekuatan, semua partai itu masuk dalam koalisi pemerintahannya, pusat daerah ditata sedemikian rupa," sambungnya. (maa/gbr)