Wacana amandemen terbatas UUD yang digaungkan oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo disorot oleh sejumlah kalangan masyarakat. Salah satunya akademisi dari FISIP UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Prof. Ali Munhanif, yang mempertanyakan tingkat urgensi amandemen UUD pada masa sulit dewasa ini. Menurut Ali, tantangan politik dan ekonomi bangsa sangat berat setidaknya hingga 5 tahun ke depan.
"Tidak ada urgensinya melakukan amandemen UUD, apalagi hingga 5 tahun mendatang agenda kenegaraan kita ke depan akan fokus pada menggenjot pertumbuhan ekonomi dan memastikan politik yang kondusif dan stabil," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (19/8/2021).
Ali menegaskan ekonomi Indonesia selama 2 tahun terpukul hebat akibat pandemi, sehingga elit dan pimpinan politik sebaiknya memiliki prioritas kerja pada mengembalikan ekonomi tumbuh sehat kembali. Guru Besar ilmu politik ini menyatakan meskipun wacana Ketua MPR itu bisa diterima dalam konteks dimungkinkannya mengubah UUD, momentum amandemennya itulah yang menjadi persoalan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebaiknya elit politik, termasuk pimpinan parpol, menjaga sense kenegaraan yang tangguh, untuk tidak membuka wacana amandemen UUD. Karena hal itu akan memancing polemik hebat dan bisa dimanfaatkan secara liar di luar wacana perubahan UUD yang terbatas tadi," ujarnya.
"Bukan soal tabu atau tidak, bukan kitab suci atau tidak, tetapi pertimbangkan urgensinya. Tidak ada satu krisis apapun yang bisa membenarkan UUD akan di-amandemen. Di negara manapun, selalu ada prasyarat politis, ekonomi maupun kebudayaan yang memberi kemungkinan terjadinya amandemen konstitusi," imbuhnya.
"Nah, saat ini kita sudah berada di rel yang benar soal pelaksanaan demokrasi dalam presidensialisme. Kita perkuat itu saja," jelasnya.
Ali merujuk pada isu diperlukannya PPHN yang akan memberikan arah pembangunan, sebagaimana yang disinggung oleh Bamsoet. Bagi Dekan FISIP UIN Jakarta ini di situlah soalnya. Semestinya Bamsoet menyadari bahwa dengan menganut presidensialisme yang dipilih secara langsung oleh rakyat, institusi semacam PPHN atau GBHN atau bahkan istilah Demokrasi Terpimpin, tidak ada lagi.
"GBHN tidak diperlukan karena program-program pembangunan terukur dalam ajuan visi-missi presiden atau pemerintah. Karena pokok-pokok arah pembangunan melekat dalam visi dan missi presiden terpilih, yang sudah diuji pada waktu kampanye Pemilu," ujar Ali.
Dalam konteks meluruskan cara berpikir konstitusi inilah Ali memperingatkan, amandemen yang mungkin terbatas pada PPHN akan memiliki implikasi perubahan kelembagaan dalam konstitusi. Dan jika itu terjadi, proses politiknya bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan secara liar.
"Misalnya, amandemen hanya sebatas dihidupkan Kembali PPHN atau GBHN. Tetapi begitu diuji secara publik, akan muncul pertanyaan siapa lembaga yang merumuskan PPHN? Berlaku berapa lama? Kepada siapa laporan PPHN harus disampaikan? Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus dibuka," tegas Ali.
Bagi Ali, institusi seperti PPHN atau GBHN muncul dalam konteks tumbuhnya rezim otoriter di era pasca Perang Dunia II, baik rezim komunis maupun otoritarianisme militer.
"Ini warisan otoritarianisme pascaperang Dunia. Di Timur Tengah, di Amerika Latin, Blok Timur, di Asia, semuanya begitu. Jadi, melekat dalam PPHN adalah watak politik otoriter di mana perumus PPHN adalah sebuah lembaga tertinggi negara, yang biasanya diatur segolongan elit-bisa partai bisa juga para jenderal-untuk mengarahkan pembangunan sesuai dengan ideologi rezim. Itu yang terjadi," tegas professor yang mengajar Perbandingan Politik ini
"Kalau kita merencanakan menghidupkan kembali PPHN, maka yang harus dipikirkan adalah lembaga apa yang melaksanakan, bagaimana prosesnya. Tentu yang paling krusial, di mana lalu posisi presiden yang telah terpilih oleh rakyat, dengan program-program pembangunan sebagaimana tertuang dalam visi dan missinya," imbuhnya.
Dengan demikian, implikasi amandemen UUD yang dicanangkan oleh Bamsoet ini tidak produktif baik secara politis maupun kelembagaan negara. Ali menyatakan UUD 1945 sekarang ini sudah merupakan desain kelembagaan presidensialisme yang sistemik, konsisten dan koheren.
"Sekali saja konstitusi hasil reformasi ini diusik salah satu unitnya, bisa runtuh bangunan sistemnya. Kita harus memikirkan konsekuensi lanjutan dan tidak mungkin amandemen sebatas PPHN saja," ujarnya.
Dalam konteks menjaga efek tak terduga dari rencana amandemen inilah dosen yang juga dikenal cendekiawan Muslim ini menyatakan jangan sampai mewacanakan amandemen dengan mempertaruhkan dan tidak bisa mengontrol apa yang akan terjadi.
(ncm/ega)