Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menyoroti adanya konflik kepentingan dalam penetapan anggaran penanganan COVID-19. Hal tersebut membuat anggaran COVID-19 semakin lebar.
Tercatat, anggaran penanganan COVID-19 naik dari Rp 695,2 triliun menjadi Rp 1.500 triliun secara total. Menurutnya, konflik kepentingan tersebut disematkan dalam penerapan kebijakan penanganan COVID-19.
"Jadi impunitasnya tinggi. Ini dulu awalnya ini ketika waktu itu ketika ini awal-awal Rp 650 triliun sekarang Rp 1.500-an triliun, datanya tidak komplet, peruntukannya kurang jelas dan seterusnya," kata Laode dalam diskusi virtual, Minggu (15/8/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada saat yang sama ini menimbulkan kerentanan dan kerawanan-kerawanan penyalahgunaan dan conflict of interest," ujarnya.
Tidak hanya itu, lanjutnya, biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung program-program COVID-19 juga tidak dianggap sebagai state loss atau kerugian negara. Jadi, celah korupsi terbuka semakin lebar.
Adapun, menurut OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), menilai dana emergency response, seperti dana COVID-19, rawan disalahgunakan karena penetapannya terburu-buru, dengan alasan keadaan yang darurat. Maka itu, celah konflik kepentingannya sangat besar.
Laode juga menyebutkan adanya state capture corruption, di mana negara sengaja membuat kebijakan tertentu yang membiarkan para pemangku kepentingan menjalankan kehendaknya. Hal ini membuat praktik korupsi jadi makin subur di Indonesia.
Pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan itu, terang Laode, meski bersalah, tidak bisa dituntut secara perdata, secara pidana, bahkan tidak bisa ditentang di pengadilan tata usaha negara.
"Satu pemerintah memfasilitasi kerusakan atau penyelewengan uang negara dengan kebijakan sehingga seakan-akan dibuat menjadi legal akhirnya tidak bisa ditangkap karena perbuatan melawan hukumnya tidak ada, salah satu yang membiarkan kejahatan di depan mata," kata Laode.
Konflik Kepentingan Munculkan Banyak Potensi Korupsi
Peneliti Transparency International Indonesia Alvin Nicola menyebut konflik kepentingan masih dianggap hal normal di Indonesia. Padahal, konflik kepentingan berperan besar dalam kasus-kasus korupsi yang merugikan negara puluhan triliun rupiah.
"Ini jadi gejala yang makin banyak ditemui hari-hari ini dan cabangnya kemana-mana, yang mengatur konflik kepentingan pun penuh dengan konflik kepentingan sendiri. Sehingga memunculkan banyak potensi korupsi yang lebih besar," kata Alvin.
Alvin menyarankan agar konflik kepentingan diatur mengacu pada standar yang telah ada. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan celah korupsi yang sudah terbuka lebar.
"Instrumen global mengatur COI (Conflict of Interest) ini sudah banyak sekali, namun standar ini tidak diterapkan secara utuh di Indonesia padahal sudah banyak sekali instrumen dan standar khusus yang mengatur konflik kepentingan," ucapnya.
Lanjut Alvin, terdapat 2 tren pengaturan konflik kepentingan, yaitu melalui sentralisasi dan desentralisasi. Upaya sentralisasi dilakukan dengan pembentukan lembaga khusus yang menangani pengaturan konflik kepentingan.
Misalnya di Bulgaria dan Jepang ada lembaga khusus yang mengatur konflik kepentingan. Sementara, Indonesia memilih pengaturan desentralisasi yang pengawasannya berada di pemerintah daerah.
"Memang sulit diukur efektivitasnya. Belum lagi sanksinya lebih banyak administrasi dibanding level disiplin. Ini jadi hal menarik yang perlu diperhatikan," katanya.
Alvin juga merekomendasikan agar pemerintah mengatur revolving door atau kondisi dimana mantan pegawai negeri bekerja di perusahaan swasta yang dia awasi seperti komisaris. Hal ini dinilai sebagai sebuah bentuk konflik kepentingan yang rawan menimbulkan korupsi.
Di sisi lain, peneliti dari Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Wicaksana Dramanda menambahkan, pengaturan konflik kepentingan juga harus menyasar pada konflik kepentingan non finansial. Indonesia masih terpaku dengan konflik kepentingan finansial yang berkaitan dengan materi saja.
"Padahal, yang non finansial ini yang paling sering terbaikan dan dianggap biasa seperti informasi program pemerintah, promosi nama perusahaan, pertambahan pengguna jasa atau data masyarakat," katanya.
(isa/isa)