Globalisasi membuat orang semakin paham berbagai bahasa asing untuk pergaulan. Tidak sedikit sudah menerapkannya sebagai bahasa sehari-hari hingga percakapan di kantor. Namun bolehkan perjanjian yang dibuat di Indonesia memakai Bahasa Inggris?
Hal itu menjadi pertanyaan detik's Advocate:
Pagi detik's Advocate
Saya Indah, tinggal di Jakarta. Rencana kami (saya dan teman bisnis) akan membuat kesepakatan usaha kecil-kecilan di bidang kuliner. Nah, untuk jaga-jaga kami akan membuat perjanjian.
Karena kami sama-sama pernah sekolah dan kuliah di luar negeri, kami merasa lebih nyaman menggunakan bahasa tulis dengan Bahasa Inggris. Termasuk nantinya juga dalam perjanjian kuliner ini.
Tapi dengar-dengar, perjanjian dengan Bahasa Inggris tidak dibolehkan ya? Apa benar? Lalu bagaimana solusinya?
Salam
Jawab:
Terima kasih atas pertanyaannya. Kami doakan semoga bisnis kulinernya lancar.
Atas pertanyaan saudari Indah, kami jawab tegas bahwa perjanjian yang dibuat secara tertulis hanya dalam Bahasa Inggris tidak diperbolehkan dan tidak sah.
Berikut pertimbangan hukumnya:
1. Pasal 31 UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan menyatakan:
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. Nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau Bahasa Inggris.
2. Peraturan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia menyatakan:
Bahasa nasional pihak asing dan/atau Bahasa Inggris digunakan sebagai padanan atau terjemahan Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing.
3. Putusan Kasasi Nomor 1572 K/Pdt/2015
Perkara ini berlatar belakang perjanjian utang piutang antara perusahaan asing dengan perusahaan Indonesia sebesar USD 4,9 juta. Perjanjian tertulis antara keduanya menggunakan bahasa asing. Ternyata perjanjian itu berakhir sengketa dan diselesaikan ke pengadilan.
Di tingkat kasasi, MA membatalkan perjanjian itu dengan alasan melanggar Pasal 31 UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Majelis kasasi menyatakan loan agrement antarpihak di atas dibuat setelah diterbitkannya UU Nomor 24/2009 yang mensyaratkan harus dibuat dalam Bahasa Indonesia. Berikut pertimbangan majelis kasasi:
Bahwa faktanya, loan agreement dibuat tidak dalam Bahasa Indonesia. Hal ini membuktikan perjanjian itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat 1 UU Nomor 24/2009 sehingga perjanjian a quo merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang terlarang sehingga, sesuai Pasal 1335 KUHPerdata jo Pasal 1337 KUHPerdata, perjanjian tersebut batal demi hukum.
4. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 136/PDT/2020/PT DKI
Perkara ini terkait perjanjian perusahaan asing dengan perusahan berbendera Indonesia dan perjanjian tersebut ditulis dalam Bahasa Inggris dengan pilihan hukum tunduk pada hukum Indonesia. Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta tidak menerima gugatan tersebut dengan alasan:
Perjanjian term sheet date Juni 3.2014 yang pelaksanaannya menjadi objek sengketa dalam perkara ini ternyata hanya ditulis dalam Bahasa Inggris, maka dengan berpedoman pada Pasal 31 Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 yang menentukan (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, istansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perorangan warga negara Indonesia (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan atau Bahasa Inggris, maka menurut Pengadilan Tinggi sebelum Penggugat mengajukan gugatan seharusnya menterjemahkan perjanjian tersebut ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi yang professional dan disumpah, sehingga dalam uraian gugatannya menggunakan Bahasa Indonesia hasil terjemahan oleh penterjemah resmi tersebut, sedang bahasa Inggrisnya hanya sebagai pembanding yang ditulis setelah Bahasa Indonesia bukan sebaliknya dalilnya ditulis dalam bahasa asing dan kemudian terjemahannya ditulis kemudian, apalagi dalam perkara ini menggunakan terjemahan bebas.
Atas pertimbangan di atas, kami menyarankan agar saudari Indah agar membuat perjanjian dalam satu bahasa yaitu Bahasa Indonesia. Kalau pun tetap akan menggunakan Bahasa Inggris, maka harus dua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, dengan tetap menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam perjanjian tersebut.
Demikian jawaban kami.
Salam
Tim Pengasuh detik's Advocate