Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, memberikan sejumlah catatan evaluasi dari kebijakan PPKM level 4 yang telah diterapkan lebih dari sebulan. Catatan yang menjadi evaluasi versi Alissa mulai dari data testing, tracing, dan treatment (3T) hingga distribusi bantuan sosial untuk masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19.
Alissa, yang juga penggagas petisi #TarikRemDarurat, mengatakan penerapan PPKM Jawa-Bali saat ini belum sepenuhnya bisa membuat pandemi membaik. Menurutnya, angka penambahan kasus harian belum dapat dikategorikan melandai, bahkan ada beberapa perkembangan yang cukup menyedihkan dan mengkhawatirkan.
"Yaitu terkait dengan peningkatan kasus dan situasi mendesak di luar pulau Jawa. Jadi PPKM Jawa-Bali itu dikelola, tapi di luar tidak dipersiapkan. Sekarang kondisinya PPKM Jawa Bali mulai membaik, tapi yang di luar Jawa-Bali ini kondisi mengkhawatirkan," kata Alissa dalam konferensi pers virtual bersama Change.org Indonesia, Kamis (5/8/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyebut ada persoalan yang jauh lebih besar jika pandemi COVID-19 di luar Jawa-Bali tidak segera ditangani. Yakni terkait kondisi fasilitas kesehatan (faskes) yang tidak sama dengan yang ada di Jawa dan Bali.
Lalu, Alissa menyinggung soal data kasus aktif, kasus sembuh, dan kasus meninggal yang selama ini dilaporkan oleh pemerintah setiap hari. Terlebih terkait dengan data kematian yang selama ini dicatat, dia masih mempertanyakan akurasi data tersebut.
"Apalagi seratus ribu kasus kematian yang sudah dicatat itu berangkat dari data yang masih kita pertanyakan kevalidannya, itu adalah catatan resmi tapi kita tahu bahwa masih ada persoalan konsolidasi data kemudian tata cara pelaporan, standar pelaporan, bahkan keterbukaan data itu sendiri. Artinya apakah angka 100 ribu ini betul-betul angka yang bisa kita terima atau minta pemerintah memperbaiki data," katanya.
Alissa menduga bahwa data yang tercatat saat ini tidak termasuk orang-orang yang menjalani isolasi mandiri (isoman) di rumah. Dari hasil laporan Gusdurian di lapangan bahwa banyak masyarakat di desa yang meninggal dengan gejala COVID-19 tapi datanya tak terlaporkan.
"Artinya ada sekian banyak data yang tidak terekam sebagai bagian dari (penanganan) pandemi COVID ini. Ini sudah terjadi di tingkat desa, berarti sebuah problem yang sudah sistemik. Artinya kalau warga desa menolak untuk berangkat melaporkan dirinya ke fasilitas kesehatan setempat, lalu kemudian banyak orang meninggal di desa tersebut tanpa ada intervensi maka kita bisa membayangkan problem jangka panjangnya seperti apa," jelasnya.
Lebih jauh, dia menjelaskan mengapa sebagian besar masyarakat yang tidak menaati aturan PPKM. Menurut dia, salah satu alasannya adalah jaminan perlindungan sosial tidak memadai.
"Sehingga orang-orang terutama kelompok yang terpukul dari pekerja sektor informal yang mengandalkan penghasilan harian, itu mereka pukulannya 2, ganda. Mereka pergi ke luar rumah tapi keluar rumah tidak bisa mendapat income yang diharapkan, karena pembeli juga berkurang. Pada saat yang sama mereka juga tidak bisa berada di rumah, karena kalau berada di rumah sama sekali tidak ada penghasilan," ujarnya.
"Karena itu jaminan perlindungan sosial sangat penting. Sampai saat ini saya masih melihat bantuan sosial ini masih nanggung, baik dari sisi jumlahnya maupun distribusinya," tambahnya.
Alissa juga menyoroti terkait komunikasi publik dari para pejabat pemerintah yang belum solid. Hal itu membuat masyarakat menjadi bingung dan semakin abai.
Terakhir adalah terkait vaksinasi. Menurutnya, Puskesmas harus berperan lebih dalam membantu program vaksinasi masyarakat di tingkat desa.
"Jadi kita memperbaiki sistem vaksinasi yang memang vaksinasi ini bisa diakselerasi dan bisa segera menghasilkan herd immunity di kalangan kita. Karena itu peran Puskesmas untuk menangani desa memperbaiki sistem vaksinasi itu sangat penting," pungkasnya.
(fas/gbr)