Hal senada disampaikan Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman, menurutnya ada tiga faktor penyebab pengurangan hukuman bagi koruptor yakni tak ada lagi Artidjo Alkostar di tingkat peradilan, melemahnya KPK karena kepemimpinan Ketua KPK Firli Bahuri, dan juga adanya revisi UU KPK.
"Menurut saya alasan diskon hukuman tidak tunggal, kalau secara hukum itu kewenangan majelis hakim tapi saya melihat bahwa adanya tren pengurangan hukuman itu juga terkait kinerja lembaga pemberantasan korupsi yang disebut KPK. Lembaga KPK kinerjanya telah turun drastis di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, itu bisa ditunjukkan dengan tidak ada kasus strategis yang ditangani, berkurangnya angka OTT, dan juga dibarengi revisi UU KPK yang telah membuat KPK tidak efektif dalam upaya pemberantasan korupsi," ujar Zaenur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Zaenur, ada hubungan antara kinerja KPK dengan merebaknya diskon hukuman bagi koruptor. Dia melihat saat ini semangat pemberantasan korupsi di Indonesia sudah mulai luntur.
Zaenur juga menilai KPK saat ini telah kehilangan wibawa karena banyak skandal di internal KPK. Tingkat kepercayaan masyarakat ke KPK juga dinilai telah menurun.
"Saya lihat KPK saat ini tidak cukup disegani bagi lembaga lain termasuk lembaga hukum selain KPK. Jadi saya berpendapat bahwa melemahnya pemberantasan korupsi oleh KPK itu tidak hanya sekedar mempengaruhi buruknya kinerja KPK tapi juga berpengaruh pada lembaga penegak hukum yang lain," kata Zaenur.
Terkait tren pengurangan hukuman bagi koruptor, Zaenur menyebut ini seakan-akan menghilangkan efek jera kepada koruptor agar tidak bertindak semena-mena. Dampaknya pelaku koruptor akan semakin banyak karena tidak adanya efek jera.
"Saya melihat bahwa efek yang bisa timbul dari diskon hukuman para pelaku tindak pidana korupsi adalah semakin hilangnya efek jera, jika efek jera hilang dan juga KPK sudah tidak memiliki kewibawaan deterrent effect maka yang dikhawatirkan para calon, para penyelenggara negara dan pihak lain semakin berani melakukan korupsi," ungkapnya.
"Karena kemungkinan terungkapnya kecil dan juga kalaupun terungkap maka risiko pidananya relatif rendah, dan masih ada kemungkinan untuk dapat banyak keringanan dengan mengajukan upaya hukum di pengadilan melalui banding, kasasi dan PK di MA, maupun nanti jika sudah menjalankan pidana di Lapas masih berkesempatan untuk mendapat pengurangan seperti remisi," lanjutnya.
(zap/fjp)