Bissu, Pendeta Bugis Kuno di Sulsel yang Terancam Punah

Bissu, Pendeta Bugis Kuno di Sulsel yang Terancam Punah

Muhammad Taufiqqurrahman - detikNews
Selasa, 27 Jul 2021 15:44 WIB
Komunitas Bissu di Sulsel yang masih ada hingga saat ini. (dok. Istimewa)
Komunitas bissu di Sulsel yang masih ada hingga saat ini. (Dok. Istimewa)
Makassar -

Populasi komunitas bissu di Sulsel semakin tahun semakin berkurang, dan hingga tahun ini tinggal sedikit bissu yang tersisa. Sebagai bagian dari budaya dan sejarah Sulsel, komunitas ini berjuang untuk tidak punah dan hanya tersisa 50 orang dari seluruh populasi manusia dunia.

Bissu dahulunya dikenal sebagai pendeta Bugis kuno. Mereka merepresentasikan bagian dari budaya Bugis untuk orang-orang suci. Mereka merupakan bagian dari lima gender yang diakui oleh masyarakat Bugis, yakni laki-laki (oronai), perempuan (makkunrai), perempuan kelaki-lakian (calalai), laki-laki keperempuanan (calabai), dan bissu.

Dalam bahasa sederhana, bissu bisa terwujudkan oleh tubuh laki-laki atau perempuan, tetapi di dalam jiwanya tidak mewakili gender mana pun berdasarkan bentuk fisiknya atau meta gender. Mereka terlahir sebagai wujud laki-laki dan perempuan sekaligus di dalam tubuh yang sama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Untuk menjadi seorang bissu memiliki beberapa tahapan. Mereka harus mendapatkan panggilan spiritual atau ilham," kata antropolog Profesor Halilintar Lathief saat berbincang dengan detikcom, Selasa (27/7/2021).

Halilintar yang meneliti komunitas bissu dalam beberapa dekade terakhir, juga merasa khawatir tentang mulai punahnya komunitas bissu ini. Dia mencontohkan, di wilayah Kabupaten Pangkep hanya tersisa 5 orang bissu setelah seorang dari mereka meninggal pada tahun. Di beberapa kabupaten lainnya juga terus mengalami penurunan.

ADVERTISEMENT

Ada beberapa alasan kenapa komunitas bissu ini mulai menurun sepanjang tahunnya, dari tragedi pembantaian terhadap kelompok mereka oleh kelompok DI/TII pada 1950-an, lalu pada 1965 ada Operasi Mappatoba, di mana mereka dikejar dan digunduli, dan di tahun 1985 pada operasi Mappakainge juga ikut menyasar komunitas ini. Selain itu, sumber penghasilan mereka dari hasil tanah yang diberikan oleh kerajaan-kerajaan di Sulsel telah diambil pada tahun 1960-an oleh negara.

Setelahnya, di mana kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan berkembang di Sulsel, praktik ramalan, doa, dan ritual keagamaan yang biasanya dijalankan oleh komunitas ini mulai ditinggalkan masyarakat, tugas-tugas mereka sebagai pendeta suci Bugis akhirnya tergantikan.

"Kalau di Sulsel atau di seluruh dunia, total bissu sekarang maksimal tinggal 50 orang saja, ini termasuk yang belum dilantik jadi bissu, itu pun karena tidak ada lagi guru guru yang melantik mereka," sebutnya.

Yang paling memprihatinkan adalah mulai hilangnya mantra-mantra kuno yang sering dipergunakan oleh komunitas bissu pada ritual dan upacara keagamaan. Halilintar memperkirakan hanya sisa sedikit dari mantra-mantra kuno yang tertinggal hingga saat ini. Hal ini juga pernah diungkap oleh salah seorang bissu kepada Halilintar dengan menyebut jumlah mereka semakin sedikit.

"Ada keahlian mereka yang hilang, soal ramalan hari, atau pengobatan, itu sudah tidak ada lagi kecuali segelintir orang yang percaya. ilmu-ilmu itu hilang. Mantra klasik mereka itu kalau saya kumpulkan pengetahuan mereka sekarang ini mungkin sisa seperempat," ucap dia.

Simak juga 'Momen Istana Beri Keris Bugis dari Belanda ke Museum Nasional':

[Gambas:Video 20detik]



(tfq/nvl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads