Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengkritik pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat level 4 atau PPKM level 4 di pabrik. Dia menyindir antarmenteri yang tak sinkron.
Said Iqbal awalnya bicara hasil survei yang dibuat pihaknya terkait kondisi buruh saat PPKM darurat hingga berubah nama menjadi PPKM level 4. Dia menyebut mayoritas buruh masih bekerja 100 persen.
Dia mengatakan survei itu dilakukan terhadap 1.000 perusahaan yang para buruhnya menjadi anggota KSPI. Para buruh itu disebutnya bekerja di berbagai sektor produksi, dari farmasi hingga industri semen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Catat! Ini Beda Penerapan PPKM Level 3 dan 4 |
Ada lima pertanyaan yang diajukan kepada para pimpinan serikat pekerja atau buruh di tiap perusahaan itu. Salah satu pertanyaan itu terkait apakah pabrik atau perusahaan masih bekerja 100 persen atau tidak hingga bagaimana pengaturan kerja jika tidak beroperasi 100 persen.
"99 persen kuesioner ini dijawab oleh buruh adalah masih bekerja 100 persen," ujar Iqbal dalam konferensi pers di kanal YouTube Bicaralah Buruh, Senin (16/7/2021).
Dia menyebut pabrik di sektor nonesensial masih beroperasi 100 persen. Said Iqbal menyebut tak ada istilah kerja dari rumah atau work from home (WFH) 50 persen bagi para buruhnya.
"Dengan demikian, efektivitas dari PPKM darurat dan PPKM level 4 ini tidak berjalan di pabrik, tuturnya.
Dia menyebut hal itu terjadi karena kebijakan antara satu menteri dengan menteri lainnya tidak sinkron. Menurutnya, tak ada sinkronisasi kebijakan antara Menko Kemaritiman dan Investasi serta Menko Perekonomian sebagai koordinator PPKM tidak dengan kebijakan Menteri Perindustrian.
"Penyebab utamanya tidak sinkronisasi antarmenteri, yaitu Menko Investasi dan Maritim sebagai koordinator PPKM Jawa-Bali maupun Menko Perekonomian sebagai koordinator PPKM di luar Jawa-Bali tidak sinkron dengan keputusan yang dikeluarkan Menteri Perindustrian," tuturnya.
Dia mengatakan para pemilik pabrik selalu menunjukkan izin operasional dari menteri perindustrian. Dia mengatakan izin itu mengatur soal WFH dan kerja dari kantor, namun tak dilaksanakan.
"Setiap pabrik selalu mengajukan dan menunjukkan ke serikat pekerja, para manajemennya, bahwa mereka sudah mendapat izin operasional dari Menteri Perindustrian atau istilahnya kalau saya nggak salah, IOMKI, walau dalam IOMKI itu diatur harus WFH 50 persen, WFO 50 persen, faktanya tidak," tuturnya.
"Penyebab faktor utamanya tidak sinkroniasi antara perintah atas dengan antarmenteri. Jadi jangan hanya rakyat saja diatur. Menterinya diatur jugalah. Kami minta hentikan itu pemberian IOMKI, kalau benar-benar mau tegakkan aturan cegah penyebaran Corona," sambungnya.
(haf/hri)