Bahwa dari uraian pertanyaan yang dapat kami tangkap dan pahami, hal ini tentunya akan dijelaskan melalui beberapa hal, mencakup pertanyaan anda yakni:
1. Harta Bersama dalam ikatan perkawinan yang sah dan perkawinan "siri";
2. Contoh Putusan yang menyerupai jenis permasalahan ini
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perkawinan dapat dianggap Sah secara Hukum, apabila perkawinan tersebut dicatatkan di suatu Lembaga Pencatatan Perkawinan yang telah diatur oleh Undang-Undang, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Dan ketentuan dalam kompilasi hukum Islam pasal 6 yang menyebutkan:
Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah siri berarti pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama, sehingga perkawinan tersebut menurut agama Islam sudah sah. Bila merujuk pada definisi "nikah siri" di atas, maka orang tua anda telah melangsungkan perkawinan secara "siri" karena tidak melalui Kantor Urusan Agama, sehingga perkawinan orang tua anda merupakan Perkawinan yang "tidak sah" secara Negara sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang, hal ini tentu saja berimbas kepada hak-hak dasar Ibu (sebagai Isteri) serta anda yang terganggu akibat perkawinan yang tidak sah tersebut.
Harta bersama dalam ikatan perkawinan yang sah dan perkawinan "siri":
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") pada Pasal 35 ayat (1) menerangkan:
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
Dan hal yang sama disampaikan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 1 huruf F menerangkan:
Harta bersama adalah harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah, yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun
Namun terhadap hal ini yang perlu diingat harta dapat dikatakan sebagai harta bersama bilamana harta yang diperoleh tersebut dalam masa perkawinan yang sah. Dengan kata lain, perkawinan yang sah merupakan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan hukum agama maupun hukum negara tempat di mana pasangan yang hendak menikah tersebut melangsungkan perkawinannya.
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Undang-Undang Perkawinan dan perubahannya menempatkan hukum agama dan kepercayaan adalah hal yang paling utama dalam perkawinan, dan secara implisit tidak ada larangan oleh negara terhadap nikah siri, namun akibatnya, tidak mempunyai kekuatan hukum. Salah satu akibat hukum dengan tidak dicatatkannya perkawinan adalah tidak adanya pengakuan dan perlindungan hukum atas hak-hak istri dan anak-anak hasil dari "perkawinan siri".
Berdasarkan uraian tersebut, karena perkawinan siri tidak diakui secara hukum, berarti rumah yang diperoleh dalam masa "perkawinan siri" tersebut tidak termasuk harta bersama yang dimaksud peraturan perundang-undangan, karena secara hukum tidak pernah ada perkawinan di antara pasangan tersebut.
Kami asumsikan, setelah perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di hadapan Kantor Urusan Agama, maka perkawinan tersebut diartikan sebagai perkawinan yang sah secara hukum, sehingga harta bersama baru timbul ketika perkawinan tersebut telah dicatatkan (bila orang tua anda bersepakat untuk mencatatkan perkawinannya di lembaga Kantor Urusan Agama, dsbnya)
Terhadap rumah yang Anda maksud, berarti adalah harta bawaan sang pemilik dan bukan harta bersama, sehingga ketika terjadi perceraian, maka secara hukum rumah tidak diperhitungkan dalam pembagian harta bersama.
Terkait dengan Perbuatan Ayah anda yang meninggalkan dan mengusir istri dan anak tanpa kabar akibat tidak seagama, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran atas kewajiban suami terhadap istri yang juga tergolong sebagai tindakan menelantarkan istri dan anak, berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ("UU Penghapusan KDRT") yang menyebutkan :
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Aturan diatas dapat dikenakan terhadap permasalahan yang menimpa persoalan keluarga anda, hal ini senada dengan penjelasan pada Pasal 2 ayat 1 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ("UU Penghapusan KDRT") yang menyebutkan:
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a. Suami, isteri, dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;.."