Ibu Saya 35 Tahun Nikah Siri, Apakah Dapat Harta Bersama?

detik's Advocate

Ibu Saya 35 Tahun Nikah Siri, Apakah Dapat Harta Bersama?

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 16 Jul 2021 08:41 WIB
Silhouette shadows of business people talking in office
Ilustrasi nikah siri (Foto: Istock)
Jakarta -

Meski sudah banyak sosialisasi dampak negatif nikah siri, tetapi masih banyak masyarakat melakukannya dengan berbagai alasan. Salah satunya diceritakan salah seorang warga kepada detik's Advocate. Bagaimana ceritanya?

Berikut pertanyaan pembaca yang dikirimkan lewat sepucuk surat elektronik kepada detik's Advocate:

Selamat siang. Saya ingin bertanya mengenai permasalahan yang ada di tengah keluarga kami. Ibu dan bapak sudah menikah kurang lebih 35 tahun, dengan status tidak tercatat. Latar belakang agama mereka berbeda, bapak Islam dan ibu Protestan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sepanjang pernikahan dan kami anak-anaknya dibesarkan tanpa diajarkan agama oleh bapak kami. Saya dan ke-3 orang adik, berlatar belakang pendidikan sekolah Katolik. Pada sampai suatu saat bapak tidak pulang hampir 10 tahun dan mama membiayai kami dengan berwarung. Bapak tidak pulang bukan hal mengejutkan, karena memang sebelum-sebelumnya sudah sering pulang pagi ataupun berhari tidak pulang.

Sampai pada saat kami satu keluarga terkena musibah Covid-19 akhirnya bapak pulang dan kami sempat berpikir ia akan berubah dan memperhatikan kami dirawat di rumah sakit. Tapi semua salah, setelah bapak kembali ke rumah, yang ada adik dan mama saya diusir dari rumah dengan alasan ibu dan adik-adik sudah tidak seagama dengan bapak. Akhirnya sampai sekarang ibu dan adik-adik mengontrak dekat rumah.

ADVERTISEMENT

Saya sendiri sudah menikah dan mempunyai anak. Dan sudah mempunyai tempat tinggal sendiri. Dalam pikiran saya, saya mampu membiayai mama dan adik-adik untuk kehidupan sehari-hari. Tetapi mama punya pikiran berbeda dan sangat tidak terima dengan perlakuan bapak. Karena kami mengetahui bahwa bapak sudah menikah tanpa sepengetahuan kami. Dan mereka menempati rumah yang telah kami tempati lebih dari 30 tahun.

Kami marah dan mencari tahu ternyata surat nikah di rumah supaya tidak diusir Pak RT, palsu. Akhirnya wanita itu tidak bisa tinggal di rumah.

Tetapi sampai saat ini rumah kosong dan mama sangat ingin kembali ke rumah dan melanjutkan usaha warungnya. Saya sebagai anak laki-laki satu-satunya sangat tidak tertarik mendapat sepeserpun harta dari orang tua saya yang seperti itu. Yang saya harapkan ibu dan adik-adik bisa kembali ke rumah tanpa intimidasi dan ancaman dari bapak.

Terima kasih.
A

Untuk menjawab permasalahan di atas, detik's Advocate menghubungi advokat Yoshua Ferdinan Napitupulu, S.H. dari LBH Mawar Saron. Berikut pendapat hukumnya:

Bahwa dalam hukum perkawinan tidak dikenal istilah perkawinan Siri namun keberlakuan tidak dilarang oleh negara tetapi secara hukum tidak memiliki kekuatan hukum. Berangkat dari pernyataan ini selama suatu perkawinan tidak dilakukan pencatatan oleh suatu lembaga atau badan yang berhak maka dapat dikategorikan perkawinan tersebut ialah perkawinan Siri dengan kata lain tidak tercatat secara negara hal ini berimbas pada harta bersama dalam masa waktu perkawinan Siri tersebut berlangsung, dikarenakan akibat perkawinan tidak dicatatkan maka dapat dianggap perkawinan tersebut tidak pernah ada sehingga bila perkawinan dianggap tidak pernah ada maka tidak dikenal istilah harta bersama sebagai mana yang termaksud dalam UU perkawinan

Baca di halaman selanjutnya

Lihat juga Video: Dugaan Nikah Siri, Aiptu Tomy Target Takjil Sianida Diperiksa Propam

[Gambas:Video 20detik]



Bahwa dari uraian pertanyaan yang dapat kami tangkap dan pahami, hal ini tentunya akan dijelaskan melalui beberapa hal, mencakup pertanyaan anda yakni:

1. Harta Bersama dalam ikatan perkawinan yang sah dan perkawinan "siri";
2. Contoh Putusan yang menyerupai jenis permasalahan ini


Perkawinan dapat dianggap Sah secara Hukum, apabila perkawinan tersebut dicatatkan di suatu Lembaga Pencatatan Perkawinan yang telah diatur oleh Undang-Undang, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

Dan ketentuan dalam kompilasi hukum Islam pasal 6 yang menyebutkan:

Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah

Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah siri berarti pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama, sehingga perkawinan tersebut menurut agama Islam sudah sah. Bila merujuk pada definisi "nikah siri" di atas, maka orang tua anda telah melangsungkan perkawinan secara "siri" karena tidak melalui Kantor Urusan Agama, sehingga perkawinan orang tua anda merupakan Perkawinan yang "tidak sah" secara Negara sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang, hal ini tentu saja berimbas kepada hak-hak dasar Ibu (sebagai Isteri) serta anda yang terganggu akibat perkawinan yang tidak sah tersebut.

Harta bersama dalam ikatan perkawinan yang sah dan perkawinan "siri":

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") pada Pasal 35 ayat (1) menerangkan:

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

Dan hal yang sama disampaikan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 1 huruf F menerangkan:

Harta bersama adalah harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah, yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun

Namun terhadap hal ini yang perlu diingat harta dapat dikatakan sebagai harta bersama bilamana harta yang diperoleh tersebut dalam masa perkawinan yang sah. Dengan kata lain, perkawinan yang sah merupakan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan hukum agama maupun hukum negara tempat di mana pasangan yang hendak menikah tersebut melangsungkan perkawinannya.

Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Undang-Undang Perkawinan dan perubahannya menempatkan hukum agama dan kepercayaan adalah hal yang paling utama dalam perkawinan, dan secara implisit tidak ada larangan oleh negara terhadap nikah siri, namun akibatnya, tidak mempunyai kekuatan hukum. Salah satu akibat hukum dengan tidak dicatatkannya perkawinan adalah tidak adanya pengakuan dan perlindungan hukum atas hak-hak istri dan anak-anak hasil dari "perkawinan siri".

Berdasarkan uraian tersebut, karena perkawinan siri tidak diakui secara hukum, berarti rumah yang diperoleh dalam masa "perkawinan siri" tersebut tidak termasuk harta bersama yang dimaksud peraturan perundang-undangan, karena secara hukum tidak pernah ada perkawinan di antara pasangan tersebut.

Kami asumsikan, setelah perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di hadapan Kantor Urusan Agama, maka perkawinan tersebut diartikan sebagai perkawinan yang sah secara hukum, sehingga harta bersama baru timbul ketika perkawinan tersebut telah dicatatkan (bila orang tua anda bersepakat untuk mencatatkan perkawinannya di lembaga Kantor Urusan Agama, dsbnya)

Terhadap rumah yang Anda maksud, berarti adalah harta bawaan sang pemilik dan bukan harta bersama, sehingga ketika terjadi perceraian, maka secara hukum rumah tidak diperhitungkan dalam pembagian harta bersama.

Terkait dengan Perbuatan Ayah anda yang meninggalkan dan mengusir istri dan anak tanpa kabar akibat tidak seagama, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran atas kewajiban suami terhadap istri yang juga tergolong sebagai tindakan menelantarkan istri dan anak, berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ("UU Penghapusan KDRT") yang menyebutkan :

1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Aturan diatas dapat dikenakan terhadap permasalahan yang menimpa persoalan keluarga anda, hal ini senada dengan penjelasan pada Pasal 2 ayat 1 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ("UU Penghapusan KDRT") yang menyebutkan:

Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a. Suami, isteri, dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;.."

Maka dari itu selama masih dapat dibuktikan terdapat hubungan keluarga sebagaimana yang tercantum dalam Pasal diatas, baik itu menggunakan teknologi atau hal-hal lain seperti (Test DNA, dsbnya) hal tersebut diartikan sebagai hubungan keluarga, karena anda merupakan anak dari Ayah yang menelantarkan anda walaupun hasil dari perkawinan "siri" antara Ibu dan Ayah anda, maka anda dapat melaporkan hal tersebut ke pihak Kepolisian dengan dugaan telah melakukan penelantaran isteri dan anak sebagaimana yang termaktub pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ("UU Penghapusan KDRT").

Contoh Putusan

Pada Putusan Pengadilan Agama Bangil Nomor 1961/Pdt.G/2015/PA.Bgl. Dalam Putusannya Hakim menyatakan, pernikahan siri yang dilakukan para pihak dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga gugatan terhadap harta berupa tanah dan bangunan rumah diatasnya yang diperoleh pada masa perkawinan siri bukanlah harta bersama.

Terhadap kasus anda, kami berasumsi selama rumah tersebut dapat dibuktikan merupakan harta milik Ibu anda sebelum perkawinan "siri" nya berlangsung, maka Ibu serta anda berhak untuk kembali ke rumah tersebut, dikarenakan rumah tersebut merupakan milik Ibu anda.

Demikian, Semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

2. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Putusan:
Putusan Pengadilan Agama Bangil Nomor 1961/Pdt.G/2015/PA.Bgl.

Terimakasih

Yoshua Ferdinan Napitupulu, S.H (Dok istimewa)Foto: Yoshua Ferdinan Napitupulu, S.H (Dok istimewa)

Yoshua Ferdinan Napitupulu, S.H
LBH Mawar Saron


Tentang detik's Advocate:

detik's Advocate adalah rubrik baru di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya dan akan ditayangkan di detikcom, baik dalam bentuk artikel ataupun visual.

Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.

Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.

Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email:
redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com

Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.

Salam
Tim Pengasuh detik's Advocate

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads