Ketua Komisi Yudisial (KY) periode 2013-3015 Suparman Marzuki menyoroti KY mengidentifikasi rekam jejak hakim penyunat vonis Pinangki Sirna Malasari. Suparman menjelaskan, salah satu cara menginvestigasi hakim adalah dengan melihat rekam jejak putusannya.
"Ini identifikasi track record hakimnya, melalui apa? Satu, indikasi putusan-putusan mereka terdahulu. Ambil 10 putusan mereka yang terhitung kontroversial, lihat di catatan," kata Suparman dalam siaran langsung di kanal YouTube Sahabat ICW, Minggu (27/6/2021).
Suparman menerangkan KY juga bisa menelusuri rekam jejak personal hakim tersebut. Setelah data itu terkumpul, KY sudah bisa memulai investigasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang kedua track record personalnya, karena semua ada catatannya. Lalu yang ketiga lakukan investigasi terhadap hakim-hakim bersangkutan," tuturnya.
Untuk proses investigasi, kata Suparman, KY sebetulnya sudah memiliki sistem yang mumpuni. Bahkan, KY sudah bisa melacak moralitas hakim itu bekerja sama dengan PPATK.
"Bagaimana caranya? Komisi Yudisial itu sudah punya sistemnya, sudah punya metode kerjanya, sudah baku itu bagaimana cara mengidentifikasi hakim. Untuk melihat membaca track record itu, kita bagi waktu itu misalnya moralitas pribadinya. Kita bisa lacak, ya kita bisa kerja sama dengan PPATK," ungkapnya.
Suparman menerangkan investigasi hakim mudah dilakukan, apalagi dalam kasus Pinangki ini. Dia menyebut semua kemungkinan soal putusan Pinangki mungkin saja terjadi.
"Hal semacam itu sangat mudah begitu untuk diidentifikasi, cek laporan laporannya di yudisial selama ini, buka lagi file-file. Nah semua itu nanti diidentifikasi, semua kemungkinan terhadap putusan kasus Pinangki itu bisa diidentifikasi," ujarnya.
"Bahwa kita tidak bisa membuktikan ada hal-hal lain yang tidak profesional, misalnya di balik putusan itu. Itu hal lain, tetapi, berhasil menemukan ketidakberesan putusan itu karena sesuatu," imbuhnya.
Diketahui, Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menjadi sorotan publik setelah menyunat hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Padahal Pinangki sebagai aparat penegak hukum menjadi makelar kasus (markus) dengan terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang. Adilkah vonis itu?
Penyunat vonis Pinangki dilakukan oleh lima hakim tinggi secara bulat. Mereka adalah Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik.
Baca track record putusan para hakim pemangkas vonis Pinangki di halaman berikutnya.
Dalam catatan detikcom, Minggu (20/6), nama-nama hakim tinggi itu tercatat kerap menyunat hukuman para terdakwa korupsi. Salah satunya pembobol Jiwasraya, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Asuransi Jiwasraya, Syahmirwan. Majelis Pinangki yang menyunat hukuman Syahmirwan dari seumur hidup menjadi 18 tahun penjara yakni Haryono, Lafat Akbar, dan Reny Helida Ilham Malik.
Hakim tinggi Haryono juga menganulir hukuman penjara seumur hidup pembobol Jiwasraya, Joko Hartono Tirto menjadi 18 tahun penjara. Selain itu, menganulir hukuman mantan Direktur Keuangan Hary Prasetyo dari penjara seumur hidup menjadi 20 tahun penjara.
Ikut memangkas hukuman Hary Prasetyo hakim tinggi kasus Pinangki, yaitu Lafat Akbar dan Reny Halida Ilham Malik.
Haryono juga menjadi ketua majelis atas terdakwa mantan Dirut Jiwasraya, Hendrisman Rahim. Awalnya, Hendrisman dihukum penjara seumur hidup. Tapi oleh Haryono bersama Reni Helida Ilham Malik dan Lafat Akbar, vonis Hendrisman disunat menjadi 20 tahun penjara.
Lalu siapa Singgih Budi Prakoso? Saat ia menjadi Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 2013 lalu, namanya disebut menerima uang suap dari Dada Rosada dan Edi Siswadi melalui Toto yang diserahkan pada terdakwa Setyabudi Tejocahyono.
Dalam dakwaan Wakil Ketua PN Bandung, Setyabudi, jaksa menyebut Singgih mendapatkan jatah US$ 15 ribu, sementara dua anggota majelis hakim perkara korupsi bansos, yaitu Ramlan Comel dan Djodjo Dkohari, mendapat masing-masing US$ 18.300.
Namun nasib Singgih beruntung. Karirnya malah moncer dengan dipromosikan menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) Makassar, lalu dipindah ke PT Semarang hingga akhirnya masuk Ibu Kota.
"Dapat dibaca sebagai bentuk ketertutupan MA dalam melakukan reformasi peradilan. Sampai sejauh ini, MA tidak punya ukuran untuk melakukan promosi dan mutasi hakim," kata Direktur Riset Centra Initiative, Erwin Natosmal Oemar, menyayangkan pola promosi kepada Singgih.
Adapun Reny Haliida Ilham Malik tercatat berkali-kali mendaftar calon hakim agung tetapi gagal saat tes di Komisi Yudisial (KY). Kegagalan Reny tercatat saat mendaftar pada 2017, 2019, 2020, dan 2021.