KPK telah menyadap telepon Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (Sekdis PUTR) Sulawesi Selatan (Sulsel), Edy Rahmat, sebanyak 16 kali sebelum terjaring operasi tangkap tangan (OTT). KPK menyadap percakapan antara Edy dan penyuap Gubernur Sulsel nonaktif Nurdin Abdullah, Agung Sucipto.
Percakapan hasil penyadapan KPK itu juga sempat ditanyakan jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor Negeri Makassar, Kamis (17/6/2021). Percakapan yang diperdengarkan di ruang sidang itu terjadi pada 7 Januari 2021.
"Di sini masih ingat pembicaraan saudara (dengan Agung Sucipto), durasi 3 menit 22 detik. Baik substansial saja, apa maksud isi pembicaraan ini dengan terdakwa Agung Sucipto," kata Jaka KPK, Zaenal Abidin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menjawab hal tersebut, Edy lalu bercerita ketika proyek jalan Palampang Munte Bonto Lempangan, Kabupaten Sinjai, Sulsel, telah selesai dikerjakan dan diresmikan Nurdin Abdullah. Edy yang mendampingi Nurdin lalu ditelepon oleh Agung Sucipto.
"Kemudian ada perkataan (Agung Sucipto melalui sambungan telepon), di Palampang ki?, saya jawab masih ini, masih sama bapak (Nurdin Abdullah), ada juga Bupati Sinjai Andi Seto. Kami di situ promosi, maksudnya promosikan pekerjaan Pak Agung baik, bagus," kata Edy.
Edy mengatakan Agung Sucipto memang meminta kepadanya agar hasil pekerjaan jalan Palampang Munte dipromosikan sebagai proyek yang berjalan baik kepada Nurdin. Tujuan permintaan Agung ini supaya proyek selanjutnya, yakni ruas Jalan Palampang Munte Bonto Lempangan 1, yang menghubungkan Sinjai dan Kabupaten Bulukumba, kembali jatuh ke tangan Agung Sucipto.
Percakapan Edy dengan Agung Sucipto lainnya yang disadap adalah percakapan lewat telepon pada 19 Februari 2021. Pada momen ini, Agung dan Edy awalnya berbincang soal proyek di Bira, Bulukumba. Kemudian, Edy menjelaskan ke Agung bahwa untuk proyek lanjutan ruas jalan Palampang Munte Bonto Lempangan 1, menggunakan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) senilai Rp 23 miliar akan diserahkan kepada Agung.
"Kemudian ada fee 7 persen itu apa?" tanya Zainal.
Edy mengatakan, untuk fee 7 persen ialah bagian kesepakatan dalam proyek irigasi di Sinjai. Dalam proyek ini, Agung dan kontraktor Harry Syamsuddin sebelumnya sudah menyetor proposal.
"Fee 7 persen untuk siapa?" tanya jaksa.
Edy kemudian mengatakan fee tersebut untuk Nurdin. "Untuk Pak Gubernur, Pak," jawabnya.
Pada rekaman percakapan telepon lainnya, terdengar Edy dan Agung Sucipto membahas masih ada fee proyek 5 persen untuk Gubernur Nurdin yang belum dibayarkan Agung Sucipto. Di percakapan itu Agung Sucipto menyampaikan ke Edy bahwa fee untuk Nurdin Abdullah dari proyek ruas Jalan Palampang Munte Bonto Lempangan 1 senilai Rp 1,5 miliar sudah siap.
"Fee 5 persen itu diserahkan juga?" kata Zainal.
Edy mengatakan belum menyerahkan karena belum menerima uang tersebut dari Agung. Dia mengatakan, seandainya tak ada OTT KPK maka fee tersebut sedianya akan diserahkan ke Nurdin paling lambat pada April 2021 di mana batas waktu pengerjaan proyek tersebut memang telah berakhir.
"Mungkin selesai pekerjaannya April (fee 5 persen diserahkan ke Nurdin)," ungkap Edy.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Pengacara Agung Heran Tak Ada Nama Nurdin Disebut Dalam Rekaman
Dari 16 percakapan Edy yang disadap di mana beberapa di antaranya diperdengarkan di persidangan, kuasa hukum terdakwa Agung Sucipto, Bambang, mengaku heran lantaran dalam 16 kali penyadapan itu tak pernah sekali pun Edy menyebut nama Nurdin Abdullah.
"Di dalam 16 tapping oleh KPK, tidak ada satu pun respons Pak Gubernur, yang ada hanya pembicaraan dengan Pak Agung, jadi untuk menyampaikan uang kepada Pak Gubernur itu bagaimana caranya?" tanya Bambang kepada Edy Rahmat.
Mengenai pertanyaan tersebut, Edy kembali menjelaskan bahwa 2 pekan sebelum OTT KPK, dia diminta menghadap oleh Gubernur Nurdin, yang intinya meminta Edy bertemu dan meminta uang ke Agung Sucipto. Karena Agung Sucipto menyanggupi, Edy mengaku tak pernah lagi berkomunikasi ke Nurdin lantaran menunggu penerimaan itu tuntas lebih dahulu.
"Jadi setelah saya terima uang itu malam, Pak, rencana besoknya baru mau saya serahkan," kata Edy.
Namun pada akhirnya uang Rp 2,5 miliar dari Agung Sucipto itu tak sempat diserahkan ke Nurdin karena adanya OTT KPK. Kuasa hukum kemudian sempat meragukan jika Edy hanya menjual nama Nurdin Abdullah ke kontraktor. Edy kemudian dengan tegas membantahnya.
"Kalau saya, Pak, memang Gubernur (yang perintah minta uang ke Agung Sucipto). Saya tidak mungkin bicara tanpa ada perintah Pak," jelas Edy.
Tanggapan Jaksa KPK
Jaksa KPK ikut menanggapi keraguan bahwa Edy Rahmat hanya menjual nama Gubernur Nurdin ke kontraktor. Jaksa mengatakan tak munculnya nama Nurdin Abdullah dalam percakapan yang disadap tak serta-merta membuktikan bahwa Gubernur Nurdin tak terlibat.
"Kita juga banyak perkara-perkara yang kita tangani itu memang ada pejabat-pejabat yang mungkin sangat berhati-hati sekali sehingga dia tidak pernah berkomunikasi langsung dengan anak buahnya," ujar Jaksa KPK Ronald Worotikan kepada detikcom usai sidang.
"Kalaupun dia berkomunikasi langsung, dengan empat mata. Kan kita juga punya perkara seperti itu," sambung Ronald.
Ronald menegaskan, walaupun tak ada sadapan ke Gubernur dengan Edy, bukan berarti tak ada keterlibatan. Ronald pun mengatakan ada sadapan lain, seperti sadapan antara Edy dan ajudan Nurdin Abdullah, Muhammad Salman Natsir.
Dalam percakapan keduanya disebutkan bahwa Salman sempat meminta proposal proyek sumber mata air di Kabupaten Gowa kepada Edy berdasarkan perintah Gubernur Nurdin. Edy pun meminta Salman bilang ke Gubernur Nurdin bahwa proposal yang diminta akan diserahkan bersamaan dengan proposal proyek irigasi Kabupaten Sinjai dari Agung Sucipto.
"Jadi kan memang sebenarnya walaupun tidak ada komunikasi langsung antara Pak Gubernur dengan Edy Rahmat terkait masalah uang, tapi kan ada percakapan-percakapan lain yang terkait dengan proyek ini dari ajudan Gubernur Pak Salman itu. Itu nanti kita sampaikan," katanya.