Kritik Makin Banyak Kala Sembako hingga Sekolah Bakal Kena Pajak

Round-Up

Kritik Makin Banyak Kala Sembako hingga Sekolah Bakal Kena Pajak

Tim detikcom - detikNews
Jumat, 11 Jun 2021 06:32 WIB
Dompet
Foto ilustrasi ekonomi orang yang kurang duit, tak berhubungan langsung dengan berita. (Shutterstock)
Jakarta -

Rakyat bakal kena kenaikan pajak lebih banyak bila Rancangan Undang-Undang (RUU) ini gol. Sembako hingga sekolahan akan dipajaki negara. Kritik ke arah rencana ini datang semakin banyak.

Rancangan legislasi yang sedang menjadi sorotan adalah RUU revisi tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Berikut adalah masalah-masalah pajak yang mengemuka dari isu RUU KUP ini:

1. Rencana kenaikan PPN

Dalam rancangan UU itu, ada Pasal 7 Ayat 1 yang mengatur kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dari 10% menjadi 12%. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menjelaskan barang yang akan dinaikan PPN-nya adalah barang yang hanya dikonsumsi kelas menengah ke atas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Partai Demokrat meminta rencana kenaikan PPN menjadi 12% ditunda. Soalnya, daya beli masyarakat masih lesu kala pandemi COVID-19 ini.

"PPN akan menjadi beban konsumen, dan tentu menjadi beban masyarakat, apalagi sedang susah akibat dampak COVID-19, sebaiknya pemerintah lebih kreatif untuk meningkatkan pendapatan negara," kata Ketua BPOKK Demokrat, Herman Khaeron, Selasa (8/6).

ADVERTISEMENT

PPP mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam menentukan kebijakan soal PPN ini. Ekonomi sedang susah, masa PPN naik?

"Perubahan tarif PPN menjadi 12% perlu ada kajian yang mendalam, harus ekstra hati-hati, karena saat ini ekonomi sedang berada dalam fase pemulihan," kata Waketum PPP Amir Uskara kepada wartawan, Selasa (8/6).

PKS juga mengkritik. Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan PKS, Anis Byarwati, heran dengan rencana kebijakan itu. Itu bisa menjadi tambahan beban masyarakat. PKS lewat Mardani Ali Sera menilai rencana ini memperlihatkan kepanikan pemerintah.

"Ini langkah panik pemerintah melihat utang yang menggunung dan penerimaan pajak yang menurun," kata Mardani Ali Sera saat dihubungi, Kamis (10/6).

Mardani Ali SeraMardani Ali Sera Foto: Mardani Ali Sera (dok. pribadi)

Bahkan PDIP yang notabene 'the ruling party' juga mengkritik rencana kenaikan PPN itu. Soalnya, risikonya adalah kemiskinan.

"Nanti kami pasti menugaskan anggota-anggota dengan literasi tinggi untuk mengawal pembahasan RUU," kata anggota Komisi XI DPR dari PDIP, Hendrawan Supratikno, Kamis (10/6).

Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno (Tsarina Maharani/detikcom)Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno (Tsarina Maharani/detikcom)

Selanjutnya, rencana sembako dipajaki:

2. Rencana sembako dipajaki

Draf RUU tentang KUP juga memuat rencana pengenakan PPPN untuk sembako, alias sembilan bahan pokok, barang yang dibutuhkan rakyat banyak. Dalam pasal 4A, barang kebutuhan pokok dihapus dari daftar barang tak kena PPN, dengan kata lain maka sembako bakal kena PPN.

Wakil Ketua Komisi XI DPR dari PPP, Amir Uskara, mengkritik. Dia meminta pemerintah membatalkan rencana memajaki sembako. Risikonya, angka kemiskinan bisa naik.

"Kita minta supaya sembako tak kena pajak. Saya belum terima draft RUU KUP, tapi kalau terkait sembako yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat juga kena pajak pastinya akan menurunkan daya beli masyarakat dan berpotensi meningkatkan prosentase penduduk miskin apa lagi dalam kondisi pandemi saat ini," kata Amir Uskara kepada wartawan, Rabu (9/6).

Ketua Komisi VI DPR dari PKB, Faisol Riza, menilai rencana memajaki sembako bertentangan dengan rasa keadilan. Dia menuntut penjelasan dari pemerintah. "Saya yakin ini melukai rasa keadilan," kata Faisol.

Dari Fraksi PAN, anggota Komisi VI DPR Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio menilai pemerintah kurang berempati ke masyarakat yang dirundung kesulitan ekonomi selama pandemi virus Corona. "Bayangkan, di saat kondisi susah seperti saat ini karena dampak pandemi, pemerintah memberikan beban tambahan kepada masyarakat menengah ke bawah," jelasnya.

Anggota Komisi VI dari Demokrat, Herman Khaeron juga sama mengkritik. Dia menilai sembako tidak seharusnya dipajaki. Fraksi Partai NasDem lewat Ketua Martin Manurung juga menilai rencana kebijakan menaikan pajak itu sebagai rencana yang keliru untuk kondisi saat ini.

"Justru, ketika ekonomi tertekan, pemerintah harus melakukan kebijakan counter cyclical untuk mendorong daya beli masyarakat di sisi permintaan dan memfasilitasi industri serta perdagangan di sisi penawaran," kata Martin yang juga Wakil Ketua Komisi VI DPR RI itu.

Pembangunan gedung baru untuk DPR RI menuai kritikan berbagai pihak walaupun Ketua DPR Setya Novanto menyebut Presiden Jokowi telah setuju pembangunan tersebut. Tetapi Presiden Jokowi belum teken Perpres tentang pembangunan Gedung DPR. Lamhot Aritonang/detikcom.Gedung DPR. (Lamhot Aritonang/detikcom)

PKB, langsung lewat mulut Ketua Umum Muhaimin Iskandar yang duduk sebagai Wakil Ketua DPR, mengkritik pula. "Saya kira perlu ditinjau ulang. Apalagi kebijakan tersebut digulirkan di masa pandemi dan situasi perekonomian saat ini yang sedang sulit," kata Cak Imin dalam keterangannya, Kamis (10/6).

Selanjutnya, rencana sekolah hingga jasa kesehatan dipajaki:

3. Rencana sekolah hingga jasa kesehatan dipajaki

Tak hanya sembako, bahkan sekolahan juga bakal kena PPN. Soalnya, draf revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 itu mencoret jasa pendidikan dari daftar jasa yang tidak kena PPN.

"Kita masih mencermati, khawatirnya nanti seperti UU Cipta Kerja yang ada klausul komersialisasi pendidikan," sorot Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim, Kamis (10/6).

Ketua Komisi X DPR, komisi yang mengurusi pendidikan, Syaiful Huda, mengkritik. Dia memprediksi bila pendidikan dikenakan pajak maka biaya pendidikan akan lebih tinggi dari saat ini.

"Agar tidak menjadi polemik dan kontraproduktif, kita mengharapkan penjelasan pemerintah atas isu ini," kata Syaiful Huda yang merupakan politikus PKB ini.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menjelaskan soal ini. Memang, jasa pendidikan dicoret dari daftar objek bebas PPN. Namun, kata dia, bukan berarti itu bakal kena PPN.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan, Perwakilan dari Kementrian Keuangan Sumarno dan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo saat menjadi pembicara pada diskusi yang mengangkat tema Ekstensifikasi Cukai Untuk Keadilan dan Keseimbangan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.Yustinus Prastowo (Agung Pambudhy/detikcom)

Dia menjelaskan bahwa sekolah PAUD, SD negeri, hingga SMA negeri termasuk lembaga nirlaba sehingga, jika ditanggung pemerintah pembiayaannya, semestinya tidak ada PPN.

"Jadi kalau gratis atau ditanggung pemerintah mestinya tidak ada PPN," kata Yustinus, Kamis (10/6).

4. Kesehatan hingga jasa kirim surat

Tak hanya itu saja. Jas pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dan perangko, jasa keuangan, dan jasa asuransi juga direncanakan kena PPN.

Simak Pasal 4A yang dikutip dari draf yang diterima detikcom, Kamis (10/6):

Pasal 4A

3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. dihapus;
b. dihapus;
c. dihapus;
d. dihapus;
e. dihapus;
f. jasa keagamaan, meliputi jasa yang diberikan oleh penceramah agama atau pengkhotbah dan kegiatan pelayanan ibadah keagamaan yang diselenggarakan rumah ibadah;
g. dihapus;

Padahal, dalam UU yang masih berlaku, jasa pendidikan masih bebas PPN.

(UU yang sedang berlaku)

(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;

Halaman 2 dari 3
(dnu/dnu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads