Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan KPK boleh menghentikan penyidikan dan penuntutan atas kasus yang disidik lebih dari 2 tahun. Di sisi lain, ada kasus RJ Lino yang disidik selama lima tahun. Bagaimana seharusnya?
Putusan MK itu merevisi Pasal 40 ayat (1) UU KPK, sehingga berbunyi:
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Prof Romli Atmasasmita, putusan MK itu telah memberikan kepastian hukum mengenai status tersangka lewat tenggang waktu dua tahun, yaitu dihitung sejak diterbitkan SPDP kepada tersangka. Romli mencontohkan, kata dia, frasa baru Pasal 40 UU KPK 2019 itu sangat tepat diterapkan terhadap mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino. Tersangka kasus pengadaan quay container crane (QCC) itu sudah berstatus tersangka sejak 2015.
"Kasus ini contoh yang representatif dan mencolok dan tepat. Mengapa, karena RJ Lino ditetapkan tersangka berdasarkan SPDP tahun 2015 sehingga memenuhi ketentuan Pasal 40 UU KPK 2019 dan putusan MK tersebut," kata Romli kepada wartawan, Jumat (21/5/2021).
Ia mengatakan KPK, yang merupakan lembaga independen, menjalankan tugas dan wewenangnya, yang dibatasi oleh ketentuan Pasal 5 huruf f UU KPK 2019, yaitu bertugas menjunjung hak asasi manusia (HAM). Kemudian pembatasan penegakan hukum juga diatur dalam Bab XA UUD 45.
"Kasus RJ Lino terang benderang merupakan pelanggaran HAM dan tidak boleh terjadi dalam suatu negara hukum. Sidang praperadilan perkara RJ Lino diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum khusus bagi RJ Lino dan bagi kasus serupa di masa depan," terang Romli.
Selain KPK, Romli mengatakan hakim praperadilan harus memahami putusan MK atas perubahan pasal tersebut. Itu dengan mendahulukan kepentingan perlindungan HAM pemohon dan ketentuan Pasal 40 UU KPK dengan merujuk putusan MK tersebut. Tafsir Pasal 40 UU KPK harus dilihat secara komprehensif tidak terbatas tekstual tetapi harus kontekstual.
"Itu dengan alasan bahwa norma suatu UU termasuk UU KPK selalu sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zamannya. UU KPK tahun 2002 dan diubah tahun 2019 bukan hanya perubahan norma semata-mata, melainkan perubahan pandangan terhadap hukum pidana," tegas Romli.
UU KPK, lanjut Romli, menitikberatkan pada tindakan-tindakan represif kepada tindakan preventif dan penghormatan HAM tersangka. Dengan demikian, jika norma frasa 'dapat' dalam Pasal 40 UU KPK hanya ditafsirkan secara normatif dan dimaknai bersifat diskresioner, justru bertentangan dengan tujuan perubahan UU KPK 2019.
"Itu khususnya penghormatan atas HAM tersangka. Sejalan dengan pandangan tersebut maka frasa 'dapat' pada pasal 40 ayat (1) UU KPK 2019 tidak memberikan kepastian hukum dan tidak adil bagi tersangka, bahkan bertentangan dengan asas fair trial dan adagium universal justice delayed justice denied," tutup Romli.
(asp/dwia)