Ketua Golkar Jatim M. Sarmuji memberikan catatan hariannya sebulan penuh selama bulan puasa yang tayangkan di akun Youtube Golkar Jatim TV menjelang berbuka puasa.
Dalam catatan tersebut, ia memaparkan falsafah Jawa yang dipadukan dengan nilai-nilai keislaman. Lebih lanjut, ia mengungkapkan alasan pengangkatan falsafah jawa adalah untuk menegaskan bahwa Islam juga ramah terhadap kearifan lokal, termasuk kearifan lokal dalam hal nilai-nilai yang diyakini masyarakat yang selama ini sudah berkembang di tengah masyarakat.
"Justru dengan mengangkat falsafah Jawa dan memberikan penguatan perspektif Islam itu menunjukkan bahwa ada universalitas nilai-nilai Jawa dan Islam. Keduanya bisa saling menguatkan." Tutur Sarmuji, dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/5/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam catatan harian ke-8, Sarmuji mengangkat tema 'Wutah Wutuh' (tumpah tapi utuh) yang bermakna apapun yang didermakan dan dibelanjakan kepada orang lain, maka akan dikembalikan utuh seperti yang didermakan bahkan dilebihkan oleh Allah SWT.
"Kita menyaksikan dalam kehidupan sehari-hari orang yang rajin berderma tidak menjadi miskin, bahkan kehidupannya menjadi lebih berkah dan hartanya justru bertambah," ujarnya.
Sarmuji memperkuat ungkapan Wutah Wutuh ini dengan mengutip firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 272 yang memiliki arti, "Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizhalimi (di rugikan)."
Dalam catatan harian yang ke-25 Sarmuji mengangkat etos keberanian masyarakat Jawa dalam ungkapan 'Sadhumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati' yang berarti sepegangan dahi, seukuran jari di bumi akan dibela sampai mati.
Baca juga: Keajaiban Berjamaah |
Ungkapan ini menunjukkan bahwa walaupun masyarakat Jawa meskipun halus perangainya, tetapi mereka akan mempertaruhkan nyawa mereka saat berhubungan dengan mempertahankan hak dan kebenaran.
"Ungkapan Sadhumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati ini masyhur dalam cerita Pangeran Diponegoro ketika memutuskan berperang karena Kolonial Belanda telah menginjak harga diri kerajaan dengan rencana membangun Jalan di atas makam leluhur Diponegoro. Perang Diponegoro adalah perang yang paling berat bagi Belanda, hingga Belanda harus berhutang sangat banyak untuk membiayai perang ini. Nilai Jawa dan Nilai Islam tentang kesyahidan menjadi bantalan moral bagi masyarakat Jawa untuk berperang melawan Belanda pada waktu itu," jelas Sarmuji.
Dalam catatan harian dengan topik 'Adigang, Adigung, Adiguna', Sarmuji bahkan melantunkan tembang Gambuh gubahan Pakubuwono IV yang berisikan kiasan bagi orang yang memiliki sifat sombong dan mengagungkan diri sendiri.
Dengan fenomena akhir-akhir ini Sarmuji juga meminta masyarakat Indonesia terutama Jawa Timur untuk mengedepankan pencarian persamaan untuk hidup berdampingan, bukan mengedepankan perbedaan yang menjadikan harmonisasi hidup rusak. Dia menilai nilai keislaman dan nilai lokal budaya akan saling memperkuat jika berangkat dari keinginan saling memahami.
"Kita harus berorientasi pada persamaan-persamaan nilai bukan berarti memaksa untuk harus sama. Dan ternyaa jika kandungan nilainya relatif sama justru bisa saling memperkuat agar bisa dipahami masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Timur," tutup Sarmuji
(mul/mpr)