Ketua YLBHI Asfinawati menyebut bentuk luar KPK saat ini masih cicak, tapi dalamnya adalah buaya. Pernyataan Asfinawati ini mengingatkan publik pada perseteruan KPK vs Polri yang dianalogikan sebagai cicak vs buaya.
Perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Markas Besar Kepolisian RI pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di masa pemerintahan SBY pernah dua kali terjadi kasus cicak vs buaya.
Kasus cicak vs buaya pertama terjadi pada Juli 2009. Perseteruan tersebut berawal dari isu yang beredar adanya penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Susno Duadji. Susno dituduh terlibat pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna. Susnolah orang yang pertama kali menyodorkan analogi cicak vs buaya. KPK diibaratkan cicak yang kecil, sedangkan Polri ialah buaya karena besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Puncak kasus cicak vs buaya jilid I terjadi ketika Bareskrim Mabes Polri menahan dua Wakil Ketua KPK; Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Penahanan dua komisioner KPK ini memantik reaksi keras dari aktivis antikorupsi.
Dua pekan setelah Bibit dan Chandra ditahan polisi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun angkat bicara. Menurut SBY, ada sejumlah permasalahan di ketiga lembaga penegak hukum saat itu, yakni Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK.
"Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik, yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK," kata SBY saat memberikan pidato terkait kasus cicak vs buaya pada 23 November 2009 di Istana Negara.
Tiga tahun kemudian kasus cicak vs buaya kembali terjadi pada awal Oktober 2012. Kasus ini dipicu oleh langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Pada Jumat malam 5 Oktober 2012, puluhan anggota Brigade Mobile mengepung gedung KPK. Mereka berniat menangkap salah satu penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan yang dituduh terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Riau. Aktivis antikorupsi kembali beraksi atas aksi kepolisian yang mengepung gedung KPK tersebut.
Mereka membuat pagar betis di gedung KPK dan mendesak agar Presiden SBY turun tangan. Tiga hari kemudian, Presiden SBY angkat bicara.
"Solusi penegakan hukum Polri Kombes Novel yang sekarang menjadi penyidik KPK. Insiden itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 2012 dan hal itu sangat saya sesalkan. Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur demikian sehingga muncul masalah politik yang baru," kata SBY saat memberikan pidato di Istana Negara pada Senin, 8 Oktober 2012.
Menurut SBY, apabila KPK dan Polri bisa memberikan penjelasan yang jujur dan jelas, kasus cicak vs buaya jilid II tidak akan terjadi.
Cicak vs buaya kembali muncul di era Presiden Joko Widodo pada 2015. Sebelas hari setelah KPK menetapkan Komjen Budi sebagai tersangka, kepolisian menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto pada Jumat (23/1/2015).
Lima jam setelah penangkapan Bambang Widjajanto, Presiden Joko Widodo memanggil Ketua KPK dan Wakapolri. Tiga jam kemudian, Jokowi memberikan pernyataan singkat.
"Saya meminta kepada institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan Undang-undang," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (23/1/2015).
KPK yang didukung ratusan aktivis pro pemberantasan korupsi pun dengan lantang memprotes tindakan Polri tersebut. Konflik ini pun disebut sebagai cicak vs buaya jilid 3.
Namun kini, menurut Asfinawati, analogi cicak vs buaya tak ada lagi. Sebab, menurutnya, yang dipakai untuk melemahkan KPK saat ini adalah dengan menggunakan metode baru lewat penguasaan KPK.
Menurut Asfinawati, metode baru ini berhasil. Bahkan dia mengatakan saat ini wujud KPK masih cicak, tapi di dalamnya sudah buaya.
"Jadi kalau kita lihat cicak-buaya I sampai III yang dilakukan dari luar, yaitu melakukan kriminalisasi. Nah, ketika cicak-buaya ketiga muncul serangan dari dalam, waktu itu ada kelompok masyarakat sipil membawa sebuah pengkhianat dari dalam itu ya, sebetulnya ditusukkan dalam plt-plt pimpinan itu yang tugasnya minimal menghambat, supaya KPK ini tidak terlalu progresif lah. Karena itu, kami melihat ada upaya baru, yaitu dia masuk juga lewat internal, mencoba mengkooptasi, dan bahkan menguasai secara penuh KPK. Wujud luarnya masih cicak, tapi di dalamnya sudah buaya. Siapa pun buayanya itu ya," tutur Asfinawati seperti dilihat di diskusi Pukat UGM, Jumat (7/5/2021).
Asfinawati menilai peristiwa pelemahan KPK yang terjadi saat ini adalah akhir dari serangan koruptor. Asfinawati juga menilai upaya pelemahan KPK saat ini tergolong berhasil.
"Jadi cicak-buaya keempat ini betul-betul berseri-seri, serangannya bertubi-tubi dan sampai saat ini mereka masih relatif berhasil," tutur dia.
Terakhir, Asfinawati mengatakan upaya pelemahan KPK ini adalah suatu tindakan untuk mengembalikan Indonesia ke Orde Baru, yakni korupsi di mana-mana. Menurut dia, sejarah akan mencatat siapa saja orang-orang di balik pelemahan KPK.
"Kalau kita melihat rangkaian tersebut, ini adalah tindakan obstruction of justice dan lebih dari itu dia bukan obstruction of justice satu per kasus, tetapi sebuah skenario untuk melakukan serangan balik koruptor agar Indonesia balik ke masa Orde Baru, penuh dengan korupsi. Dan karena itu, kalau petinggi negeri ini tidak bertindak, rakyat akan menyimpulkan tindakan-tindakan ini disetujui oleh pimpinan negeri," ucapnya.
(rdp/dhn)