Sosok hakim konstitusi Wahiduddin Adams jadi sorotan setelah seorang diri menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion menolak revisi Undang-Undang KPK. Wahiduddin Adams meyakini ada sejumlah indikator spesifik yang menyebabkan UU KPK baru memiliki beberapa persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang serius.
"Oleh karena RUU ini merupakan usul inisiatif DPR, maka DIM disiapkan oleh Presiden. Dengan diperolehnya fakta dari keterangan pembentuk undang-undang bahwa raker pertama dilaksanakan pada 12 September 2019 dan rapat Panitia Kerja pertama dilaksanakan tanggal 13 September 2019, sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa DIM RUU ini disiapkan oleh Presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam," kata Wahiduddin Adams menyampaikan dissenting opinion seperti dikutip detikcom, Rabu (5/5/2021).
Wahiduddin Adams mengatakan cepatnya penyusunan DIM oleh Presiden berdampak pada minimnya partisipasi masyarakat, minimnya masukan yang diberikan berjenjang dan kajian analisis dampak terhadap pihak yang akan melaksanakan ketentuan UU KPK. Secara keseluruhan, Wahiduddin menilai hal ini menyebabkan nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan UU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam konteks ini saya tidak menemukan argumentasi dan justifikasi apa pun yang dapat saya terima berdasarkan common sense bahwa suatu perubahan yang begitu banyak dan bersifat fundamental terhadap lembaga sepenting KPK disiapkan dalam bentuk DIM kurang dari 24 jam, padahal jangka waktu yang dimiliki oleh Presiden untuk melaksanakan itu adalah paling lama 60 hari," kata Wahiduddin.
Lalu bagaimana sosok dan kiprah Wahiduddin Adams yang lantang sendiri menolak revisi UU KPK? berikut ulasannya.
Berawal dari PNS
Mengutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi RI, karier Wahiduddin Adams dimulai sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI pada 1981-1985.
Dirinya juga sempat dipindahtugaskan di Sulawesi Tenggara saat menjabat sebagai Koordinator Urusan Pembinaan Administrasi (eselon II-B) pada Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Sulawesi Tenggara (2001-2002).
Berkat kemampuannya, lulusan S3 Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah ini menjalani karier tertingginya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan pada 2010-2014.
Dosen UIN Jakarta
Wahiduddin Adams juga menjalani karier sebagai dosen mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan di dua universitas, yakni di UIN Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Menjelang pensiun, dia sempat berencana berencana menjadi dosen penuh di UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum. Namun, ketika surat keputusan (SK) PNS-nya sudah dipindahkan, Wahiduddin Adams menjabat tawaran sebagai hakim konstitusi oleh DPR.
Hakim Konstitusi
Wahiduddin Adams berhasil menduduki kursi hakim konstitusi menjelang masa purnabaktinya sebagai PNS. DPR memberi kepercayaan kepada pria kelahiran Palembang, 17 Januari 1954, itu untuk menjadi hakim konstitusi pada 2014.
Wahiduddin Adams sudah memegang jabatan hakim konstitusi dua periode, yakni periode 2014-2019 dan 2019-2024. Ia menerima penghargaan Bintang Mahaputera Utama yang diberikan Presiden Joko Widodo pada 11 November 2020.
Sosoknya juga sempat menghiasi media pada 2017 lalu setelah menyetujui agar homoseks dan kumpul kebo menjadi delik pidana. Pendapatnya dituangkan dalam putusan MK tentang judicial review UU KUHP.
Pada Rabu (5/5), Wahiduddin Adams menyampaikan dissenting opinion terkait UU KPK dan kalah suara dengan 8 hakim konstitusi lainnya. UU KPK baru pun disahkan.
Tonton Video: Tok! MK Tolak Uji Materi UU KPK