Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang diajukan mantan pimpinan KPK Agus Rahardjo cs.
Ada sejumlah hal yang dinilai MK telah sesuai dengan prosedur, misalnya UU KPK sudah masuk Prolegnas.
"MK berpendapat telah ternyata RUU tersebut telah terdaftar dalam Prolegnas dan berulang kali terdaftar dalam Prolegnas Prioritas," kata hakim konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangannya dalam sidang yang disiarkan secara langsung di YouTube MKRI, Selasa (4/5/2021).
Arief menuturkan Rancangan Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah masuk Prolegnas 2015-2019 berulang-ulang. Misalnya pada 2016 dan pada 2019.
"Dalam evaluasi penanganan Prolegnas Prioritas periode 9 September 2019 terdaftar dalam RUU akan memasuki tahap pembicaraan tingkat pertama sebagai RUU kumulatif terbuka urutan ke-5 yang selesai disusun Baleg pada 3 September 2019 dan disetujui menjadi RUU usul DPR pada rapat paripurna 5 Septermber 2019," ujar Arief.
Sementara itu, terkait lama atau tidaknya waktu yang diperlukan dalam pembentukan suatu perundang-undangan, Arief berpendapat hal tersebut sangat berkaitan erat dengan substansi dari suatu RUU tersebut. Arief menilai pembentukan UU tidak dapat disamakan tingkat kesulitan, terutama untuk mengharmonisasi antara RUU yang satu dengan yang lain.
"Dan lama atau tidaknya proses harmonisasi tidak berkaitan dengan dalil para pemohon yang mensinyalir adanya penyeludupan dalam proses pembuatan RUU untuk disetujui. Terlebih lagi proses pengusulan perubahan UU KPK telah dilakukan jauh sebelum Prolegnas tahun 2015-2019 apalagi tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batas waktu berapa lama suatu RUU harus diselesaikan. Berdasarkan uraian di atas dalil para pemohon yang menyatakan UU 19 2019 tidak melalui Prolegnas dan terjadi penyeludupan hukum adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Arief.
Kemudian hakim konstitusi Saldi Isra mengungkap DPR telah beberapa kali melaksanakan kegiatan Raker, RDP, RDPU, rapat panja, kegiatan lainnya untuk menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat baik dari tokoh masyarakat, aktivis antikorupsi, LSM, pakar hukum tata negara dan hukum pidana, BPK, kepolisian, Kemen HAM, dan lainnya. MK juga mendapatkan fakta bahwa DPR telah beberapa kali memanggil KPK untuk hadir dalam pembahasan revisi UU KPK tetapi KPK menolak menghadiri kegiatan itu.
"Mahkamah menemukan fakta bahwa beberapa kali KPK menolak menghadiri pembahasan perihal revisi UU KPK. Hal demikian berarti bukan berarti pembentuk UU (DPR dan Presiden) yang tidak mau melibatkan KPK, tapi secara faktual tapi KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi UU KPK," ujar Saldi.
Lebih lanjut, para pemohon mendalilkan adanya demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait dengan revisi UU KPK. Namun MK berpendapat aksi tersebut hanya sebagai penyampaian pendapat, aksi tersebut tidak hanya dilakukan oleh kelompok yang menentang revisi UU KPK namun juga oleh kelompok yang mendukung dilakukan revisi UU KPK.
"Apalagi ada-tidaknya demonstrasi tidak menentukan keabsahan formalitas pembentukan UU," ujar Saldi.
Kemudian, MK menilai dalil pemohon yang menyatakan pembentukan UU menggunakan naskah akademik fiktif dan tidak memenuhi syarat saat penyusunan UU nomor 19 2019 adalah tidak beralasan hukum. Sebab, menurutnya, sudah ada naskah akademik, tetapi tanggal yang disampaikan di halaman cover tidak bersesuaian.
Sedangkan terkait dalil pemohon yang menilai sidang paripurna tidak kuorum, MK berpendapat pemohon tidak cukup mengajukan bukti kehadiran dengan hanya menyampaikan daftar hadir yang ditandatangani anggota DPR, apalagi hanya menyerahkan jumlah rekapitulasi kehadiran. Pemohon juga harus menyerahkan bukti visual dan atau bukti audio visual rekaman persidangan yang dapat menunjukkan jumlah kehadiran fisik anggota DPR.
Pemohon dalam dalilnya juga mempersoalkan terkait RUU KPK yang tidak ditandatangani presiden. Namun hakim MK berpendapat RUU KPK yang telah disetujui bersama namun tidak disahkan atau tidak di tandatangani oleh presiden tidak dapat bisa dijadikan alasan sebuah UU adalah catat formil karena secara konstitusional rancangan UU yang tidak ditandatangani oleh Presiden tetap sah menjadi UU setelah 30 hari sejak disetujui bersama oleh DPR dan presiden.
Sementara itu, terdapat 1 hakim konstitusi, yaitu Wahiduddin Adams, yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion perihal permohonan pengujian formil UU Nomor 19/2019 tentang KPK. Dissenting opinion ini juga berlaku terhadap nomor perkara 59/PUU-XVII/2019, 62/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019.
Hakim konstitusi Wahiduddin Adams meyakini terdapat beberapa indikator spesifik yang menyebabkan UU KPK yang baru memiliki beberapa persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang serius. Pertama, Wahiddudin menyoroti terkait cepatnya pihak Presiden menyusun Daftar Inventarisir Masalah (DIM) sejak rapat pertama pembahasan RUU KPK dilakukan ke rapat selanjutnya.
"Oleh karena RUU ini merupakan usul inisiatif DPR maka DIM disiapkan oleh Presiden. Dengan diperolehnya fakta dari keterangan pembentuk Undang-undang bahwa Raker pertama dilaksanakan pada tanggal 12 September 2019 dan Rapat Panitia Kerja pertama dilaksanakan tanggal 13 September 2019, sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa DIM RUU ini disiapkan oleh presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam," kata Wahiduddin.
Cepatnya penyusunan DIM oleh presiden ini, menurut Wahiduddin, menyebabkan minimnya partisipasi masyarakat, minimnya masukan yang diberikan berjenjang dan kajian analisis dampak terhadap pihak yang akan melaksanakan ketentuan UU KPK. Secara keseluruhan, Wahiduddin menilai hal ini menyebabkan nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan UU.
Padahal dalam Pasal 92 ayat 4 tentang Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan UU mengatur bahwa pandangan dan pendapat Presiden dan Daftar Inventaris Masalah disampaikan pada pimpinan DPR dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal RUU diterima Presiden.
"Dalam konteks ini saya tidak menemukan argumentasi dan justifikasi apa pun yang dapat saya terima berdasarkan common sense bahwa suatu perubahan yang begitu banyak dan bersifat fundamental terhadap lembaga sepenting KPK disiapkan dalam bentuk DIM kurang dari 24 jam padahal jangka waktu yang dimiliki oleh Presiden untuk melaksanakan itu adalah paling lama 60 hari," kata Wahiduddin.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hari ini.
MK memutuskan menolak permohonan Agus Rahardjo cs yang meminta UU KPK dinyatakan cacat formil sehingga tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan permohonan, yang disiarkan di YouTube MK RI, Selasa (4/5/2021).
(yld/mae)