Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengapresiasi langkah pemerintah yang mengambil alih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Selanjutnya, menurut GMNI, aset-aset negara yang telah dikorupsi juga harus bisa dikembalikan. Untuk itu, RUU Perampasan Aset harus disahkan DPR.
"Tentu kita apresiasi langkah pemerintah mengambil alih TMII dan pembentukan Satgas Hak Tagih Negara atas dana BLBI. Namun upaya tersebut belumlah cukup, perlu ada kerangka yang sistematis dan jangka panjang, yaitu RUU Perampasan Aset," kata Ketua Umum GMNI Arjuna Putra Aldino lewat keterangan tertulisnya, Senin (12/4/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk Satgas Penanganan Hak Tagih Negara dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rionald Silaban ditunjuk menjadi Ketua Satgas.
Aturan mengenai keanggotaan Satgas ini tertuang dalam Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara dan BLBI. Aturan itu diteken Jokowi pada 6 April 2021.
Menurut Arjuna, perlu ada reformasi yang komprehensif tentang perampasan aset, terutama mengembalikan kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana kejahatan ekonomi lainnya.
"Konsep pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung hanya memenjarakan orang, tidak menelisik aliran uang, apalagi jika pelaku pandai menyembunyikan kekayaan hasil korupsinya, maka upaya mengejar aset mengalami kesulitan. Di lain sisi, kerugian negara harus dipulihkan. Terutama membantu pengembalian keuangan negara secara optimal dalam upaya membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat," kata Arjuna.
RUU Perampasan Aset dinilai GMNI bisa menambal sejumlah kelemahan perampasan aset yang selama ini berlangsung banyak mengalami kendala. Banyak terjadi aset hasil tindak pidana tetap dapat dinikmati oleh pelaku meskipun sudah menjalani masa hukuman (penjara). Kedua, adanya evolusi tindak kejahatan dimana kejahatan dengan berbagai bentuk rekayasa keuangan atau financial engineering dan rekayasa hukum legal engineering. Langkah itu ditempuh para pelaku kejahatan agar dapat mengelabui aparat penegak hukum, mempersulit proses hukum di pengadilan, dan mempersulit proses penyitaan konvensional.
"GMNI desak RUU Perampasan Aset masuk prolegnas prioritas," kata dia.
Selanjutnya, RUU Perampasan Aset bakal memperkuat posisi negara di hadapan penjahat:
Menurut Arjuna, hukum tidak hanya digunakan untuk menimbulkan efek jera dengan suatu pembalasan (retributionist) dengan masa kurungan atau denda, melainkan merehabilitasi dan mengembalikan kerugian negara. Jadi dalam RUU Perampasan Aset menurut Arjuna, fokusnya adalah memperkuat posisi negara dihadapan para pelaku kejahatan, dan kedua, berfokus pada pengembalian kerugian negara, prinsipnya adalah secara etis apa yang dicuri dari rakyat harus sedapat mungkin dirampas kembali.
"Dengan RUU Perampasan Aset kita dapat memperkuat posisi negara dihadapan para pelaku kejahatan, dan yang paling penting hasil kejahatan merupakan sesuatu yang tidak boleh dimiliki terus menerus oleh pelaku kejahatan, dan karenanya harus dikembalikan kepada yang berhak atasnya," kata Arjuna.
Arjuna juga menyampaikan RUU Perampasan Aset sesuai dengan United Nations Convenant Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003.